(Respon
Masyarakat Aceh Besar Terhadap efektifitas Penerapan hukuman Cambuk di Aceh)
Oleh: Baihaqi
M.Hasan
ABSTRAK
sumber ilustrasi tempo.co |
Masyarakat
Aceh telah menjadikan ajaran agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini tercermin dari tingkahlaku dan pola hidup masyarakat Aceh.
Untuk merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam, manyoritas masyarakat Aceh
menuntut diberlakukannya penerapan hukum syariat Islam. Dengan diberlakukannya
syariat Islam maka lahirlah qanun-qanun. Diantara Qanun tersebut yaitu qanun
tentang hukum jinayat. Mengenai qanun
tentang hukum jinayat banyak timbul pro dan kontra. Salah satu pro dan kontra
tersebut yaitu tentang pembelakuan hukum cambuk. Hukum cambuk di Aceh sudah
berjalan kurang lebih 11 tahun dan merupakan penerapan hukuman baru dalam
perundangan Indonesia. Jadi, dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana respon masyarakat Aceh Besar terhadap
efektifitas penerapan hukum cambuk di Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian
lapangan yang pengambilan datanya melalui observasi dan wawancara dengan
masyarakat Aceh Besar. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebanyakan respoden
menganggap bahwa penerapan hukum cambuk di Aceh belum efektif, berbagai alasan
di berikan, diantranya hukum cambuk di Aceh masih tajam ke bawah tumpul ke
atas. Selain itu, hukum cambuk belum sepenuhnya memberi efek jera kepada
pelanggar syariat sebagaimana yang diharapkan.
Kata
Kunci: Syariat Islam, Hukuman Cambuk.
A.
Latar Belakang Masalah
Sejak
Islam berkuasa di Aceh dari abad ke-17, masyarakat Aceh telah menjadikan ajaran
agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan masyarakat Aceh selalu diwarnai dengan
nilai-nilai Islam, corak kehidupan seperti merupakan keinginan masyarakat Aceh
itu sendiri.
Kedatangan Penjajahan Belanda ke Aceh memberi dampak yang cukup
buruk terhadap Aceh. Selain meruntuhkan kerajaan Aceh. Penjajah Belanda juga
meruntuhkan nilai-nilai Islam yang menjadi pedoman hidup bangsa Aceh.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945 dan Aceh dinyatakan sebagai bagian dari Indonesia, para
ulama Aceh umumnya dan ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) khususnya berupaya agar Daerah Istimewa Aceh dapat menjalankan
Syari’at[1]
Islam.
Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan
peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syari’at Islam di Aceh muncul
kembali. Perjuangan masyarakat Aceh untuk memberlakukan syariat Islam
akhirnya dapat terealisasi dan terakomodir dalam undang-undang nomor 44
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Peluang tersebut semakin dipertegas dalam undang-undang nomor 18 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh
Darussalam.
Disamping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari’at Islam
telah dirumuskan secara yuridi melalui
Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata
kerja MPU Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam (lihat penjelasan atas qanun provinsi
nanggroe aceh darussalam nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam
bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam ).
Aceh adalah
daerah yang mendapatkan otonomi khusus dari pemerintah pusat. Salah satu
otonomi dan kekhususan aceh yaitu menjalankan syariat Islam. Penerbitan qanun
yang berkaitan dengan syariat Islam merupakan bentuk dari kekhususan aceh itu
sendiri. Pada tahun 2014 pemerintah aceh telah menetapkan 9 qanun yaitu: Qanun
Aceh no 1 Tahun 2014 tentang Retribusi Jasa Umum, Qanun
Aceh no 3 Tahun 2014 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, Qanun Aceh no 4
Tahun 2014 tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Aggaran Pendapatan dan
Belanja Aceh Tahun Anggaran 2013, Qanun Aceh no 6 Tahun 2014
Tentang Hukum Jinayat, Qanun
Aceh no 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan, Qanun
Aceh no 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-pokok Syariat Islam, Qanun
Aceh no 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah, Qanun
Aceh no 10 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Pengelolaan Keuangan Aceh, Qanun Aceh no 11 Tahun 2014
tentang Penyelenggaran Pendidikan.
Salah
satu dari qanun-qanun yang disahkan tersebut yaitu Qanun Aceh no 6 Tahun 2014
Tentang Hukum Jinayat yaitu
hukum yang mengatur tentang Jarimah dan Uqubat. Jarimah adalah perbuatan yang
dilarang oleh Syariat Islam yang dalam Qanun
ini diancam dengan Hudud atau Ta’zir. ‘Uqubat adalah hukuman yang dapat
dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah.
Melalui
qanun aceh nomor 6 tahun 2014 pasal 18, masyarakat aceh telah menentukan metode
dalam pemberian hukuman terhadap pelanggar syariat Islam yaitu Uqubat Hudud dan
Ta’zir. Salah satu metode yang sering dipakai untuk pelanggar syariat Islam
yaitu hukuman cambuk.
Dari
awal penerapannya, hukuman cambuk banyak menuai pro dan kontra. Secara
eksplisit rakyat aceh sangat pro terhadap syariat Islam yang berlaku di Aceh,
karena secara umum syariat Islam merupakan dambaan dan keinginan rakyat aceh
itu sendiri. Hal ini bisa diamati dari
keadaan kultur masyarakat Aceh. Dalam kehidupan sehari-hari, pola tingkah laku
masyarakat Aceh bisa dikatakan mencerminkan hukum Islam, artinya sesuai dengan
aturan hukum Islam. Hukum Islam telah menjadi pedoman hidup bagi masyarakat
aceh sejak Islam masuk ke Nusantara.
Untuk
pertama kali, pada 24
Juni 2005 hukuman cambuk dilaksanakan di kabupaten
Bireun. Hukuman cambuk ini merupakan implementasi dari qanun Nomor 13/2003
tentang perjudian (maisir). Kurang lebih, sebelas tahun sudah pelaksanaan hukum
cambuk diterapkan di Aceh. Pro dan kontra terhadap hukuman cambuk masih menjadi polemik.
Mengenai
cara menghukum pelanggar syariat dengan cara pemberian hukuman cambuk, banyak
pihak yang keberatan bahkan ada yang menolak. Penolakan syariat Islam di Aceh
banyak yang datang dari luar, terutama dari Jakarta. Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR) misalnya, mereka menyatakan bahwa Qanun Jinayat bertolak
belakang dengan sistem pemidanaan di Indonesia. "Terutama karena rezim
hukum pemidanaan kita telah menolak secara tegas penghukuman terhadap tubuh
(corporal punishment)," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono,
di Jakarta, Senin (29/9).[2] Dari
latar belakang masalah diatas penulis ingin mengetahui bagaimana respon
masyarakat Aceh Besar terhadap efektifitas hukuman cambuk bagi pelanggar
syariat Islam di Aceh.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dimana
peneliti ingin memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivadi, tindakan, dll.[3]
Jadi yang ingin diteliti disini yaitu persepsi masyarakat Aceh Besar tentang
efektifitas penerapan hukum cambuk di Aceh.
Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan teknik wawancara
tidak terstruktur dengan mewawancarai masyarakat Aceh besar.
C. Qanun
Qanun yaitu peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah
aceh dan disahkan oleh DPR yang di tanda tangani oleh Gubernur (Tingkat
propinsi) dan bupati atau walikota pada daerah tingkat dua. Dasar berlakunya
Qanun adalah undang – undang tentang otonomi khusus Aceh. Dalam undang-undang
nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang
di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan yang
dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi
pemeluknya di Aceh.[4]
Jadi dalam qanun di atur tentang tata cara pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Qanun Jinayat merupakan
satu-satunya qanun yang paling banyak menjadi sorotan dari bermacam kalangan
pihak, baik dari pihak yang mendukungnya maupun dari pihak yang menolaknya. Hal
ini dapat di maklumi, karena dalam qanun jinayat di tentang tata cara pemberian
hukuman bagi pelanggar syariat, terutama tentang tata cara penerapan hukuman
cambuk.
Qanun jinayat pada dasarnya
hanya mengatur tentang jarimah dan uqubat. Jarimah dalam qanun jinayat meliputi
khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan,
qadzaf, liwath, musahaqah, pemerkosaan dan qadzaf. Adapun uqubat meliputi hudud
yang berbentuk cambuk dan ta’zir.
D.
Hukuman Cambuk
Pelaksanaan
hukuman cambuk di Aceh mengacu
pada Peraturan Gubernur No 10/2005 yang terdiri atas 17 pasal yang antara lain
isinya, Pertama cambuk yang digunakan terbuat dari rotan berdiameter 0,75-1
centimeter, panjang satu meter, dan tidak mempunyai ujung ganda. Pencambuk
adalah anggota Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat Islam). Hukuman cambuk
dilaksanakan di tempat terbuka agar dapat disaksikan oleh orang banyak dengan dihadiri
jaksa dan dokter. Tempat pencambukan di atas alas berukuran minimal 3×3 meter.
Posisi
pencambuk berdiri di sebelah kiri terhukum. Jarak pencambuk dengan terhukum
0,75-1 meter dengan wilayah pencambuk di punggung (bahu sampai pinggul). Jarak
tempat pencambukan dengan masyarakat yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
Pencambukan dihentikan sementara apabila terhukum mengalami luka dan
diperintahkan oleh dokter berdasarkan pertimbangan medis atau terhukum
melarikan diri sebelum hukuman selesai dilaksanakan.
Terhukum
tetap diharuskan memakai baju tipis yang menutup aurat yang telah disediakan
serta berada pada posisi berdiri tanpa penyangga bagi terhukum pria dan dalam
posisi duduk bagi terhukum perempuan. Terhukum paling sedikit akan menerima
enam kali dan paling banyak delapan kali cambukan.[5]
Penerapan
hukuman cambuk di Aceh pertama kali dilaksanakan pada hari jum’at (24 Juni
2005), yang diselenggarakan di Bireun, kabupaten Bireun, provinsi Aceh. Dalam
pelaksanaan hukum cambuk tersebut terdapat 26 orang terpidana judi (maisir).
Ini merupakan implementasi dari pemberlakuan
Undang-undang Syariat Islam di Aceh.
Bentuk hukuman cambuk ini merupakan bentuk penghukuman baru di
dalam perundangan Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan
atau pelanggaran syari’at di Aceh. Maka tidak jarang timbul perbedaan pandangan
di masyarakat terkait dengan pelaksanaan hukuman cambuk, baik itu dilihat dari
segi Qanun itu sendiri ataupun dilihat dari Hukum Adat setempat. Perbedaan
pandangan ini telah terjadi semenjak qanun masih dalam rancangan sampai
sekarang.[6]
E.
Urgensi Ditetapkannya Hukuman Cambuk
Dalam
penjelasan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang
pelaksanaan syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam di jelaskan bahwa
:
Adanya
sanksi pidana cambuk di depan umum, disamping sanksi penjara dan atau denda serta sanksi administratif,
dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dan
pembinaan, sehingga sipelaku akan menyadari dan menyesali kesalahan
yang dilakukan dan mengantarkannya untuk
memprosisikan diri dalam Taubat Nasuha.
Pelaksanaan hukuman cambuk di depan umum dimaksudkan sebagai upaya
preventif dan pendidikan sehingga orang
berupaya menghindari pelanggar hukum lainnya untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap Qanun
ini khususnya dan terhadap segala
ketentuan Syari’at Islam pada umumnya.
Bentuk
ancaman hukuman cambuk bagi pelaku tindak pidana, dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si
pelaku dan sekaligus menjadi peringatan
bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Hukuman cambuk
diharapkan akan lebih efektif karena
terpidana merasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarganya. Jenis hukuman cambuk juga menjadikan
biaya yang harus ditanggung oleh
pemerintah lebih murah dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya seperti
yang dikenal dalam sistem KUHP sekarang
ini.
Dari
penjelasan Qanun di atas dapat dipahami bahwa tujuan utama diterapkan hukuman
cambuk bukan untuk menyakiti pelaku syariat Islam akan tetapi untuk memberi
efek jera dan rasa malu agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya.
F.
Respon Masyarakat Aceh Besar Terhadap
Efektifitas Penerapan Cambuk Bagi Pelaku Syariat Islam
Sejak diterapkan
hukuman cambuk bagi pelanggar syariat islam, banyak respon dari masyarakat
terhadap efektifitas pelaksaan cambuk itu sendiri. Ada yang mendukung dan ada
pula yang menolaknya.
Untuk
memperoleh hasil yang objektif, penulis telah mengelompokkan data informasi
para informan, baik melalui media eloktronik, maupun hasil wawancara langsung.
1.
Kalangan Umum
Untuk
mengetahui respon masyarakat tentang efektifitas penerapan hukum cambuk di Aceh
Besar, peneliti telah mewawancarai beberapa masyarakat Aceh Besar, kebanyakan
dari mereka berpendapat bahwa hukum cambuk yang diterapkan belum memberikan
efek yang signifikan.
Zulfitra
Armi (warga lambaro yang berprofesi sebagai penjual kopi), ketika diwawancarai
oleh peneliti mengatakan:
“Menurut
saya pelaksanaan cambuk di aceh telah berjalan cukup baik, namun ada beberapa
hal yang dirasa kurang, kalau ada pejabat-pejabat yang melanggar syariat, seakan-akan kasusnya
ditutupi sehingga hilang isu dengan sendirinya.”
Zainal Abidin (warga Lhoknga, Petani)
menuturkan:
“Hukum
cambuk yang di terapkan tidak efektif karena tidak sesuai dengan al-Qur’an dan
Hadits. Seharusnya WH mencambuk sekeras-kerasnya, kalau tidak meninggal orang
yang di cambuk minimal cedera. Ini di cambuk cuma beberapa kali, tidak memberi
efek jera kepada pelaku.”
Menurut Yunie
(Penjual barang pecah belah di Ajuen, warga Ajuen):
“Hukum
cambuk belum efektif karena berlaku untuk masyarakat biasa saja, sedangkan
hukum cambuk tidak berlaku untuk pejabat atau orang tinggi, buktinya sudah
banyak. Kalau ada aparat pemerintah yang kedapatan melanggar syariat islam,
terus tidak dihukum, cukup bayar denda aja, terus dihapuskan kasusnya, itukan
tidak adil.”
Muhammad
Amin (Petani bayam di Cot Keung) berpendapat bahwa hukuman cambuk yang
diterapkan belum efektif.
“Saya
lihat hukum cambuk belum efektif, karena penerapanya masih pilih kasih. Bagi
orang yang kena cambuk tidak memberi efek jera, mungkin karena tidak ada lagi
rasa malu. Jadi sebelum menerapkan hukuman cambuk alangkah baiknya jika di
benahi dulu masyarakat agar tidak kena hukum.”
Muhammad
amin menambahkan, “hukum cambuk sekarang lebih kepada mencari sensasi dan
popularitas dari masyarakat.”
Sabirin
(Sales Mobil di Keutapang, warga Sibreh) menjelaskan:
“Sebetulnya
hukum cambuk sangat-sangat belum efekti. Banyak kendala yang dihadapi WH dalam
menjalankan tugas, seperti dana, fasilitas dan lain-lain. Kemarin di banda aceh
yang mau di cambukpun tidak jadi di cambuk karena tidak ada dana untuk
melaksanakan cambuk. Terus ada yang mau di cambuk tapi melarikan diri gara-gara
tidak ada penjara buat terpidana.”
Selanjutnya
Sabirin berharap agar hukum cambuk tidak tajam ke bawah tumpul ke atas, dan
berharap kepada pemerintah supaya memberikan fasilitas yang cukup untuk dinas
syariat Islam. Sabirin menambahkan:
“Untuk
mengatasi masalahnya mungkin pemerintah harus mengalokasikan dana yang memadai
dan fasilitas yang cukup. Sepertinya hukum tajam kebawah dan tumpul ke atas.”
Bustami
(Penjual barang kelontong di Keutapang, warga Ajuen) mengatakan:
“Hukuman
cambuk di Aceh tidak efektif, karena orang yang kena cambuk sudah tidak malu
lagi. Saya pernah melihat orang yang kena cambuk dia senyum-senyum saja dengan
bangga.. algojonya pun tidak pas, kadang-kadang pukulanya lemah, kadang-kadang
keras. Waktu pukulannya keras di beri peringatan oleh panitia.”
Devi Novita
(sales, warga keutapang):
“Hukuman
cambuk belum efektif, karena secara aturan dan ketentuan masih ada yang kurang
tentang qanun jinayat, yaitu secara hukum acaranya belum dibuat oleh
pemerintah, tapi kalau formilnya sudah dibuat.”
Devi
menambahkan supaya hukuman cambuk efektif harus dibuat dulu hukum acaranya,
kalau tidak dibuat penangkapannya berarti illegal.
“ya buat
dulu hukum acaranya, biar sesuai dengan prosedur hukum. Kalau gak ada illegal
semua penangkapannya.”
2.
Masyarakat yang Berpendidikan
Syaukani
(Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, Kosentrasi Fiqh Modern) berpandangan
bahwa:
“Hukum
cambuk masih dibahas secara umum dan tidak spesifik. Hukum cambuk belum
berjalan sesuai dengan kaidahnya. Dalam Negara Indonesia, hukum cambuk masih
goyang. Di aceh sendiri sistem hukum cambuk masih lemah. Oleh sebab itu hukum
cambuk baru berjalan ketika berhadapan dengan masyarakat, itupun kalangan
bawah. Hukum cambuk belum berjalan semestinya, karena masyarakat mengandalkan
hukum adat. Contohnya jika ada yang kedapatan melanggar syariat seperti mesum,
maka akan di nikahkan.”
Tarmizi
(Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry, warga Blang Bintang):
“Menurut
saya, hukuman cambuk di aceh Belum efektif karena hukuman cambuk yang
diterapkan diaceh cenderung memilah dan memilih kasih, contohnya banyak
kalangan-kalangan pejabat yang notabane penjabat tinggi di aceh yang melanggar
syariat islam justru tidak dicambuk bila di bandingkan dengan masyarakat-masyarakat
dikalangan bawah yang melanggar syariat islam itu sendiri.”
Farah (Mahasiswi Teknik Elektro Unsyiah, warga
Geucu Komplek):
“Hukum
cambuk itu Cuma beberapa kali pukul, terus walaupun dilakukan didepan orang
banyak tidak akan efektif. Perasaan malu lama kelamaan pasti hilang. Kalau mau
melanggar syariat pasti suatu saat akan dilakukan lagi. Jadi harus dicari cara
lain untuk mengantikan hukum cambuk yang intinya bisa merubah sifat pelanggar
syariat sehingga perbuatan tersebut tidak terulang lagi.”
Edi
Zulkarnain (Polisi Darul Imarah, warga Gue Gajah):
“Hukuman
cambuk di Aceh tidak efektif. Karena orang yang menjalankannya (wilayatul
hisbah) tidak tegas. Sekarang masyarakat
apabila menemukan pelanggar syariat tidak lagi menyerahkan kepada wilayatul
Hisbah tetapi menyerahkan langsung kepada tetua kampong biar diselesaikan
secara adat gampong, baik itu dengan denda maupun dengan mempermalukannya.”
Mulyadi
(staf pengajar di Universitas Iskandar Muda (Unida), warga Gue Gajah:
“Hukum
cambuk sudah bagus, Cuma pelaksanaannya kurang bagus. Hanya kalangan tertentu
yang kena hukuman cambuk. Intinya hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh belum
efektif.” Menurut bapak Mulyadi “hukuman cambuk sebaiknya dikembalikan ke UUD 1945
atau dikembalikan kehukum adat saja.”
Bapak Burhanuddin (staf karyawan
TVRI Aceh, warga keutapang):
“Saya
setuju dengan syariat Islam, tapi mengenai dengan penerapan hukum cambuk
sebetulnya saya kurang setuju karena hukum cambuk yang dilakukan sekarang
kurang efektif.”
Menurut
pengalaman bapak Burhanuddin ketika melihat hukuman cambuk saat pertama kali
dilakukan, orang yang kena cambuk tidak merasa malu atau jera. Tidak lama
setelah penerapan hukuman orang tersebut masih mengulangi perbuatannya.
Burhanuddin menjelaskan :
“saya
melihat sendiri saat hukuman cambuk pertama kali dilakukan di Bireun, orang
yang kena cambuk, tiga hari sesudah itu melakukan lagi kesalahannya, kira-kira
begitu.”
Munawar
Khalil (Mahasiswa Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry)
berpandangan bahwa hukum cambuk di aceh belum efektif, masih memandang bulu.
“belum efektif, masih terkesan memandang bulu”
Khalil
menambahkan:
“Kalau
hukum cambuk yang seperti sekarang, saya tidak setuju. Kalau hukum cambuk
seperti yang sudah diatur dalam syari’at saya baru setuju. Tapi dari pada
tidak, untuk gertak-gertak saja, sudah bisa lah.”
3.
Kalangan Intansi Pemerintah
Menurut
Zaini Abdullah (Gubernur Aceh), “hukuman cambuk memberikan pembelajaran
disamping berfungsi sebagai hukuman”. Saat ditanya oleh Kompas mengenai
efektifitas hukuman cambuk dalam memberikan efek jera, Zaini Abdullah mengaku
hanya mengikuti keinginan masyarakat. “Hukuman cambuk memberikan pendidikan dan
pembelajaran, bukan hanya punishment (hukuman), bagi kami ini
pendidikan, juga dalam bidang lain, perbankan dan ekonomi,” tutur Zaini
Abdullah.”[7]
Sedangkan
Teungku Muslim Ibrahim (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)) menjelaskan
bahwa: Peraturan Hukum Cambuk sudah menjadi hukum positif, karena ada
undang-undangnya. “hukum cambuk sudah dilegalkan di Aceh. Hal ini sesuai dengan
UU Nomor 18 Tahun 2001.[8]
Adapun Djailani
Ahmad (Sekdekap Aceh Besar) mengharapkan dengan adanya hukuman cambuk,
pelanggar syariat Islam bisa berkurang: “Dengan hukuman cambuk diharapkan
menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan syariat Islam secara
kaffah, sekaligus mengurangi kasus pelanggaran syariat di Aceh besar.”[9] Sebelumnya
Djailani Ahmad telah mengimbau kepada masyarakat agar memahami dan menghormati
ajaran agama serta menghindari pelanggaran melanggar hukum.
Makmur
Ibrahim (kepala biro Hukum dan Humas pemerintah aceh) “berdampak sangat baik,
kejadian melanggar qanun (peraturan daerah) berkurang.” “supaya banyak orang
yang melihat sehingga timbul efek jera.”[10]
M Rusli
(Kepala Satpol PP dan WH aceh Besar), “diharapkan pelaksanaan hukuman cambuk
dapat menumbuhkan kesadarn masyarakat, khususnya warga aceh besar
dalammelaksanakan syariat islam secara kaffah.”[11]
Munawar
A Djalil (Kabid Hukum Dinas Syariat Islam Aceh), menurutnya selama ini ada
kesan hukuman cambuk seakan menjadi hiburan bagi pelanggarnya. Ada tervonis
yang nyengir kuda saat di cambuk. Ada yang mengangkat tangan ibarat penyanyi
rock seusai dicambuk. Tak tampak sedikitpun rasa menyesal atau malu atas
hukuman yang diterima. Munawar A Djalil mengakui ada tercambuk yang ambruk di
altar pencambukan, tapi itu hanya sebahagian kecil. seakan sebat yang
dilayangkan algojo tak mendatangkan efek jera sedikitpun.[12]
Tgk Faisal Ali (Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh
(HUDA)), “Hukuman cambuk pelanggar syariat Islam itu sebagai efekjera, sehingga
perbuatan yang di haramkan dalam agam tidak dilakukan, kedepan tentunya perlu
ditingkatkan.” Faisal menambahkan huku syariat di Aceh harus benar-benar
ditegakkan sesuai aturan yang berlaku khusus di Aceh dan para penegak hukum
juga tidak perlu khawatir dalam menjalankan tugasnya, karena syariat islam
merupakan kesepakatan manyoritas masyarakat serambi Mekkah.[13]
G. KESIMPULAN
Dari
penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Kebanyakan
dari responden masih menganggap bahwa hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh
belum efektif. Mereka melihat hukuman cambuk yang berlaku di aceh kurang adil,
masih pilih kasih, tajam ke bawah tumpul ke atas. Selain itu hukuman cambuk
tidak memberikan efek jera maupun efek malu bagi pelanggar syariat Islam,
kecuali sebagian kecil saja. Padahal tujuan awal diberlakukannya hukuman cambuk
adalah untuk memberi efek jera dan membuat malu pelanggar syariat. Terakhir
penulis ingin mengutip peryataan Donald Black : “hukum bagaikan air, yang
selalu mencari dan menumpuk pada strata yang paling rendah.” Sehingga semakin
rendah strata seseorang maka semakin
banyak beban hukuman menumpuk padanya.[14]
DAFTAR
PUSTAKA
[2]Fitriyan
dan Zamzami (ed), Republika, Pengesahan Qanun di Evaluasi, (online), http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/14/09/30/ncp78s6
pengesahan-qanun-dievaluasi, Senin, 23-02-2016 19:20 WIB.
[3]Lexy
J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2012), hal. 6.
[4]Al Yasa' Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan
Syariat Islam “Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam,” (Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam, 2004), hal. 4.
[5]Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Himpunan Undang-Undang,
Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Intruksi Gubernur, Edaran Gubernur
Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi keenam, (Banda Aceh: Dinas
Syari’at, 2008), hal. 143.
[6]Mohd.
Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional
dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: Unpad Press, 2009),
hlm. 143.
[7]Icha
Rastika, Kompas, Gubernur Aceh: Bagi Kami, Hukuman Cambuk Itu Pendidikan, (online),
http://regional.kompas.com/read/2014/12/13/18045421/Gubernur.Aceh.Bagi.Kami.Hukuman.Cambuk.Itu.Pendidikan,
Sabtu, 23/06/2016 22:17 WIB.
[8]Dadang
Kusmayadi (ed), Hidayatullah, Rama-Ramai Gugat Syariat Islam Di Aceh,
(online), http://majalah.hidayatullah.com/2011/11/ramai-ramai-gugat-syariat-islam-di-aceh/,
sabtu 23/06/2016 22:50 WIB.
[9]Syahril
Ahmad, rri.co.id, Pemkab Aceh Besar Cambuk Lima Pelaku Khalwat, (online),
http://www.rri.co.id/banda-aceh/post/berita/247587/syariat_islam/pemkab_aceh_besar_cambuk_lima_pelaku_khalwat.html,
Minggu, 24/06/2016 19:07 WIB.
[10]Dianing
Sari, Tempo.co, Aceh Klain Hukum cambuk berdampak Baik pada Warga, (online),
https://m.tempo.co/read/news/2011/05/23/063336027/aceh-klaim-hukum-cambuk-berdampak-baik-pada-warga,
Minggu, 24/06/2016, 20:37 WIB.
[11]Hasyim
(ed), Serambi Indonesia, Terbukti Berkhalwat Dua Sejoli Di Cambuk,
(online), http://aceh.tribunnews.com/2016/01/16/terbukti-berkhalwat-dua-sejoli-dicambuk, Sabtu,
23/06/2016, 22:45 WIB.
[12]Bakri
(ed), Serambi Indonesia, Cambuk Penzina, Selamatkan Moral Anak Negeri,
(online), http://aceh.tribunnews.com/2015/10/16/cambuk-penzina-selamatkan-moral-anak-negeri, Sabtu,
23/06/2016, 20:05 WIB.
[13]Hasyim
(ed), Serambi Indonesia, tiga pria dicambuk karena judi, (online), http://aceh.tribunnews.com/2012/10/16/tiga-pria-dicambuk-karena-judi, Sabtu,
23/06/2016, 20:20 WIB.
[14]Saifullah,
Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar