Minggu, 19 Februari 2017

RESPON MASYARAKAT TERHADAP PENERAPAN HUKUMAN CAMBUK BAGI PELANGGAR SYARIAT ISLAM DI ACEH



(Respon Masyarakat Aceh Besar Terhadap efektifitas Penerapan hukuman Cambuk di Aceh)

Oleh: Baihaqi M.Hasan


         ABSTRAK
sumber ilustrasi tempo.co
Masyarakat Aceh telah menjadikan ajaran agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tercermin dari tingkahlaku dan pola hidup masyarakat Aceh. Untuk merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam, manyoritas masyarakat Aceh menuntut diberlakukannya penerapan hukum syariat Islam. Dengan diberlakukannya syariat Islam maka lahirlah qanun-qanun. Diantara Qanun tersebut yaitu qanun tentang hukum  jinayat. Mengenai qanun tentang hukum jinayat banyak timbul pro dan kontra. Salah satu pro dan kontra tersebut yaitu tentang pembelakuan hukum cambuk. Hukum cambuk di Aceh sudah berjalan kurang lebih 11 tahun dan merupakan penerapan hukuman baru dalam perundangan Indonesia. Jadi, dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat  bagaimana respon masyarakat Aceh Besar terhadap efektifitas penerapan hukum cambuk di Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang pengambilan datanya melalui observasi dan wawancara dengan masyarakat Aceh Besar. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebanyakan respoden menganggap bahwa penerapan hukum cambuk di Aceh belum efektif, berbagai alasan di berikan, diantranya hukum cambuk di Aceh masih tajam ke bawah tumpul ke atas. Selain itu, hukum cambuk belum sepenuhnya memberi efek jera kepada pelanggar syariat sebagaimana yang diharapkan.

Kata Kunci: Syariat Islam, Hukuman Cambuk.


A.   Latar Belakang Masalah

Sejak Islam berkuasa di Aceh dari abad ke-17, masyarakat Aceh telah menjadikan ajaran agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan masyarakat Aceh selalu diwarnai dengan nilai-nilai Islam, corak kehidupan seperti merupakan keinginan masyarakat Aceh itu sendiri.
Kedatangan Penjajahan Belanda ke Aceh memberi dampak yang cukup buruk terhadap Aceh. Selain meruntuhkan kerajaan Aceh. Penjajah Belanda juga meruntuhkan nilai-nilai Islam yang menjadi pedoman hidup bangsa Aceh.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Aceh dinyatakan sebagai bagian dari Indonesia, para ulama  Aceh umumnya dan ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) khususnya berupaya agar Daerah Istimewa Aceh dapat menjalankan Syari’at[1] Islam.
Dengan munculnya era reformasi pada tahun 1998, semangat dan peluang yang terpendam untuk memberlakukan Syari’at Islam di Aceh muncul kembali. Perjuangan masyarakat Aceh untuk memberlakukan syariat Islam akhirnya dapat terealisasi dan terakomodir dalam undang-undang nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Peluang tersebut semakin dipertegas dalam undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. 
Disamping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari’at Islam telah dirumuskan  secara yuridi melalui Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2000 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja MPU Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam (lihat penjelasan atas qanun provinsi nanggroe aceh darussalam nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah, dan syiar Islam ).
Aceh adalah daerah yang mendapatkan otonomi khusus dari pemerintah pusat. Salah satu otonomi dan kekhususan aceh yaitu menjalankan syariat Islam. Penerbitan qanun yang berkaitan dengan syariat Islam merupakan bentuk dari kekhususan aceh itu sendiri. Pada tahun 2014 pemerintah aceh telah menetapkan 9 qanun yaitu: Qanun Aceh no 1 Tahun 2014 tentang Retribusi Jasa Umum, Qanun Aceh no 3 Tahun 2014 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, Qanun Aceh no 4 Tahun 2014 tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Aggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2013, Qanun Aceh no 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, Qanun Aceh no 7 Tahun 2014 tentang Ketenagakerjaan, Qanun Aceh no 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-pokok Syariat Islam, Qanun Aceh no 9 Tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah, Qanun Aceh no 10 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Keuangan Aceh, Qanun Aceh no 11 Tahun 2014 tentang Penyelenggaran Pendidikan.
Salah satu dari qanun-qanun yang disahkan tersebut yaitu Qanun Aceh no 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat yaitu hukum yang mengatur tentang Jarimah dan Uqubat. Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam Qanun  ini diancam dengan Hudud atau Ta’zir. ‘Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku Jarimah.
Melalui qanun aceh nomor 6 tahun 2014 pasal 18, masyarakat aceh telah menentukan metode dalam pemberian hukuman terhadap pelanggar syariat Islam yaitu Uqubat Hudud dan Ta’zir. Salah satu metode yang sering dipakai untuk pelanggar syariat Islam yaitu hukuman cambuk.
Dari awal penerapannya, hukuman cambuk banyak menuai pro dan kontra. Secara eksplisit rakyat aceh sangat pro terhadap syariat Islam yang berlaku di Aceh, karena secara umum syariat Islam merupakan dambaan dan keinginan rakyat aceh itu sendiri.  Hal ini bisa diamati dari keadaan kultur masyarakat Aceh. Dalam kehidupan sehari-hari, pola tingkah laku masyarakat Aceh bisa dikatakan mencerminkan hukum Islam, artinya sesuai dengan aturan hukum Islam. Hukum Islam telah menjadi pedoman hidup bagi masyarakat aceh sejak Islam masuk ke Nusantara.
Untuk pertama kali, pada 24 Juni 2005 hukuman cambuk dilaksanakan di kabupaten Bireun. Hukuman cambuk ini merupakan implementasi dari qanun Nomor 13/2003 tentang perjudian (maisir). Kurang lebih, sebelas tahun sudah pelaksanaan hukum cambuk diterapkan di Aceh. Pro dan kontra terhadap hukuman cambuk  masih menjadi polemik.
Mengenai cara menghukum pelanggar syariat dengan cara pemberian hukuman cambuk, banyak pihak yang keberatan bahkan ada yang menolak. Penolakan syariat Islam di Aceh banyak yang datang dari luar, terutama dari Jakarta. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) misalnya, mereka menyatakan bahwa Qanun Jinayat bertolak belakang dengan sistem pemidanaan di Indonesia. "Terutama karena rezim hukum pemidanaan kita telah menolak secara tegas penghukuman terhadap tubuh (corporal punishment)," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Senin (29/9).[2] Dari latar belakang masalah diatas penulis ingin mengetahui bagaimana respon masyarakat Aceh Besar terhadap efektifitas hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam di Aceh.


B.    Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dimana peneliti ingin memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivadi, tindakan, dll.[3] Jadi yang ingin diteliti disini yaitu persepsi masyarakat Aceh Besar tentang efektifitas penerapan hukum cambuk di Aceh.
Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur dengan mewawancarai masyarakat Aceh besar.


C.  Qanun
Qanun yaitu peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah aceh dan disahkan oleh DPR yang di tanda tangani oleh Gubernur (Tingkat propinsi) dan bupati atau walikota pada daerah tingkat dua. Dasar berlakunya Qanun adalah undang – undang tentang otonomi khusus Aceh. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh.[4] Jadi dalam qanun di atur tentang tata cara pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Qanun Jinayat merupakan satu-satunya qanun yang paling banyak menjadi sorotan dari bermacam kalangan pihak, baik dari pihak yang mendukungnya maupun dari pihak yang menolaknya. Hal ini dapat di maklumi, karena dalam qanun jinayat di tentang tata cara pemberian hukuman bagi pelanggar syariat, terutama tentang tata cara penerapan hukuman cambuk.
Qanun jinayat pada dasarnya hanya mengatur tentang jarimah dan uqubat. Jarimah dalam qanun jinayat meliputi khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwath, musahaqah, pemerkosaan dan qadzaf. Adapun uqubat meliputi hudud yang berbentuk cambuk dan ta’zir.


D.   Hukuman Cambuk
Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh mengacu pada Peraturan Gubernur No 10/2005 yang terdiri atas 17 pasal yang antara lain isinya, Pertama cambuk yang digunakan terbuat dari rotan berdiameter 0,75-1 centimeter, panjang satu meter, dan tidak mempunyai ujung ganda. Pencambuk adalah anggota Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat Islam). Hukuman cambuk dilaksanakan di tempat terbuka agar dapat disaksikan oleh orang banyak dengan dihadiri jaksa dan dokter. Tempat pencambukan di atas alas berukuran minimal 3×3 meter.
Posisi pencambuk berdiri di sebelah kiri terhukum. Jarak pencambuk dengan terhukum 0,75-1 meter dengan wilayah pencambuk di punggung (bahu sampai pinggul). Jarak tempat pencambukan dengan masyarakat yang menyaksikan paling dekat 10 meter. Pencambukan dihentikan sementara apabila terhukum mengalami luka dan diperintahkan oleh dokter berdasarkan pertimbangan medis atau terhukum melarikan diri sebelum hukuman selesai dilaksanakan.
Terhukum tetap diharuskan memakai baju tipis yang menutup aurat yang telah disediakan serta berada pada posisi berdiri tanpa penyangga bagi terhukum pria dan dalam posisi duduk bagi terhukum perempuan. Terhukum paling sedikit akan menerima enam kali dan paling banyak delapan kali cambukan.[5]
Penerapan hukuman cambuk di Aceh pertama kali dilaksanakan pada hari jum’at (24 Juni 2005), yang diselenggarakan di Bireun, kabupaten Bireun, provinsi Aceh. Dalam pelaksanaan hukum cambuk tersebut terdapat 26 orang terpidana judi (maisir). Ini merupakan implementasi dari pemberlakuan Undang-undang Syariat Islam di Aceh.
Bentuk hukuman cambuk ini merupakan bentuk penghukuman baru di dalam perundangan Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan atau pelanggaran syari’at di Aceh. Maka tidak jarang timbul perbedaan pandangan di masyarakat terkait dengan pelaksanaan hukuman cambuk, baik itu dilihat dari segi Qanun itu sendiri ataupun dilihat dari Hukum Adat setempat. Perbedaan pandangan ini telah terjadi semenjak qanun masih dalam rancangan sampai sekarang.[6]


E.    Urgensi Ditetapkannya Hukuman Cambuk
Dalam penjelasan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam di jelaskan bahwa :
Adanya sanksi pidana cambuk di depan umum, disamping sanksi penjara dan  atau denda serta sanksi administratif, dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dan  pembinaan, sehingga sipelaku akan menyadari dan menyesali kesalahan yang  dilakukan dan mengantarkannya untuk memprosisikan diri dalam Taubat Nasuha.  Pelaksanaan hukuman cambuk di depan umum dimaksudkan sebagai upaya preventif  dan pendidikan sehingga orang berupaya menghindari pelanggar hukum lainnya untuk  tidak melakukan pelanggaran terhadap Qanun ini khususnya dan terhadap segala  ketentuan Syari’at Islam pada umumnya. 
Bentuk ancaman hukuman cambuk bagi pelaku tindak pidana, dimaksudkan  sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan  bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Hukuman cambuk diharapkan  akan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi  keluarganya. Jenis hukuman cambuk juga menjadikan biaya yang harus ditanggung  oleh pemerintah lebih murah dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya seperti yang  dikenal dalam sistem KUHP sekarang ini.
Dari penjelasan Qanun di atas dapat dipahami bahwa tujuan utama diterapkan hukuman cambuk bukan untuk menyakiti pelaku syariat Islam akan tetapi untuk memberi efek jera dan rasa malu agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya.


F.    Respon Masyarakat Aceh Besar Terhadap Efektifitas Penerapan Cambuk Bagi Pelaku Syariat Islam
Sejak diterapkan hukuman cambuk bagi pelanggar syariat islam, banyak respon dari masyarakat terhadap efektifitas pelaksaan cambuk itu sendiri. Ada yang mendukung dan ada pula yang menolaknya.
Untuk memperoleh hasil yang objektif, penulis telah mengelompokkan data informasi para informan, baik melalui media eloktronik, maupun hasil wawancara langsung.
1.      Kalangan Umum
Untuk mengetahui respon masyarakat tentang efektifitas penerapan hukum cambuk di Aceh Besar, peneliti telah mewawancarai beberapa masyarakat Aceh Besar, kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa hukum cambuk yang diterapkan belum memberikan efek yang signifikan.
Zulfitra Armi (warga lambaro yang berprofesi sebagai penjual kopi), ketika diwawancarai oleh peneliti mengatakan:
“Menurut saya pelaksanaan cambuk di aceh telah berjalan cukup baik, namun ada beberapa hal yang dirasa kurang, kalau ada pejabat-pejabat  yang melanggar syariat, seakan-akan kasusnya ditutupi sehingga hilang isu dengan sendirinya.”
Zainal Abidin (warga Lhoknga, Petani) menuturkan:
“Hukum cambuk yang di terapkan tidak efektif karena tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Seharusnya WH mencambuk sekeras-kerasnya, kalau tidak meninggal orang yang di cambuk minimal cedera. Ini di cambuk cuma beberapa kali, tidak memberi efek jera kepada pelaku.”
Menurut Yunie (Penjual barang pecah belah di Ajuen, warga Ajuen):
“Hukum cambuk belum efektif karena berlaku untuk masyarakat biasa saja, sedangkan hukum cambuk tidak berlaku untuk pejabat atau orang tinggi, buktinya sudah banyak. Kalau ada aparat pemerintah yang kedapatan melanggar syariat islam, terus tidak dihukum, cukup bayar denda aja, terus dihapuskan kasusnya, itukan tidak adil.”
Muhammad Amin (Petani bayam di Cot Keung) berpendapat bahwa hukuman cambuk yang diterapkan belum efektif.
“Saya lihat hukum cambuk belum efektif, karena penerapanya masih pilih kasih. Bagi orang yang kena cambuk tidak memberi efek jera, mungkin karena tidak ada lagi rasa malu. Jadi sebelum menerapkan hukuman cambuk alangkah baiknya jika di benahi dulu masyarakat agar tidak kena hukum.”
Muhammad amin menambahkan, “hukum cambuk sekarang lebih kepada mencari sensasi dan popularitas dari masyarakat.”
Sabirin (Sales Mobil di Keutapang, warga Sibreh) menjelaskan:
“Sebetulnya hukum cambuk sangat-sangat belum efekti. Banyak kendala yang dihadapi WH dalam menjalankan tugas, seperti dana, fasilitas dan lain-lain. Kemarin di banda aceh yang mau di cambukpun tidak jadi di cambuk karena tidak ada dana untuk melaksanakan cambuk. Terus ada yang mau di cambuk tapi melarikan diri gara-gara tidak ada penjara buat terpidana.”
Selanjutnya Sabirin berharap agar hukum cambuk tidak tajam ke bawah tumpul ke atas, dan berharap kepada pemerintah supaya memberikan fasilitas yang cukup untuk dinas syariat Islam. Sabirin menambahkan:
“Untuk mengatasi masalahnya mungkin pemerintah harus mengalokasikan dana yang memadai dan fasilitas yang cukup. Sepertinya hukum tajam kebawah dan tumpul ke atas.”
Bustami (Penjual barang kelontong di Keutapang, warga Ajuen) mengatakan:
“Hukuman cambuk di Aceh tidak efektif, karena orang yang kena cambuk sudah tidak malu lagi. Saya pernah melihat orang yang kena cambuk dia senyum-senyum saja dengan bangga.. algojonya pun tidak pas, kadang-kadang pukulanya lemah, kadang-kadang keras. Waktu pukulannya keras di beri peringatan oleh panitia.”
Devi Novita (sales, warga keutapang):
“Hukuman cambuk belum efektif, karena secara aturan dan ketentuan masih ada yang kurang tentang qanun jinayat, yaitu secara hukum acaranya belum dibuat oleh pemerintah, tapi kalau formilnya sudah dibuat.”
Devi menambahkan supaya hukuman cambuk efektif harus dibuat dulu hukum acaranya, kalau tidak dibuat penangkapannya berarti illegal.
“ya buat dulu hukum acaranya, biar sesuai dengan prosedur hukum. Kalau gak ada illegal semua penangkapannya.”


2.    Masyarakat yang Berpendidikan
Syaukani (Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, Kosentrasi Fiqh Modern) berpandangan bahwa:
“Hukum cambuk masih dibahas secara umum dan tidak spesifik. Hukum cambuk belum berjalan sesuai dengan kaidahnya. Dalam Negara Indonesia, hukum cambuk masih goyang. Di aceh sendiri sistem hukum cambuk masih lemah. Oleh sebab itu hukum cambuk baru berjalan ketika berhadapan dengan masyarakat, itupun kalangan bawah. Hukum cambuk belum berjalan semestinya, karena masyarakat mengandalkan hukum adat. Contohnya jika ada yang kedapatan melanggar syariat seperti mesum, maka akan di nikahkan.”
Tarmizi (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry, warga Blang Bintang):
“Menurut saya, hukuman cambuk di aceh Belum efektif karena hukuman cambuk yang diterapkan diaceh cenderung memilah dan memilih kasih, contohnya banyak kalangan-kalangan pejabat yang notabane penjabat tinggi di aceh yang melanggar syariat islam justru tidak dicambuk bila di bandingkan dengan masyarakat-masyarakat dikalangan bawah yang melanggar syariat islam itu sendiri.”
Farah (Mahasiswi Teknik Elektro Unsyiah, warga Geucu Komplek):
“Hukum cambuk itu Cuma beberapa kali pukul, terus walaupun dilakukan didepan orang banyak tidak akan efektif. Perasaan malu lama kelamaan pasti hilang. Kalau mau melanggar syariat pasti suatu saat akan dilakukan lagi. Jadi harus dicari cara lain untuk mengantikan hukum cambuk yang intinya bisa merubah sifat pelanggar syariat sehingga perbuatan tersebut tidak terulang lagi.”
Edi Zulkarnain (Polisi Darul Imarah, warga Gue Gajah):
“Hukuman cambuk di Aceh tidak efektif. Karena orang yang menjalankannya (wilayatul hisbah)  tidak tegas. Sekarang masyarakat apabila menemukan pelanggar syariat tidak lagi menyerahkan kepada wilayatul Hisbah tetapi menyerahkan langsung kepada tetua kampong biar diselesaikan secara adat gampong, baik itu dengan denda maupun dengan mempermalukannya.”
Mulyadi (staf pengajar di Universitas Iskandar Muda (Unida), warga Gue Gajah:
“Hukum cambuk sudah bagus, Cuma pelaksanaannya kurang bagus. Hanya kalangan tertentu yang kena hukuman cambuk. Intinya hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh belum efektif.” Menurut bapak Mulyadi “hukuman cambuk sebaiknya dikembalikan ke UUD 1945 atau dikembalikan kehukum adat saja.”
            Bapak Burhanuddin (staf karyawan TVRI Aceh, warga keutapang):
“Saya setuju dengan syariat Islam, tapi mengenai dengan penerapan hukum cambuk sebetulnya saya kurang setuju karena hukum cambuk yang dilakukan sekarang kurang efektif.”
Menurut pengalaman bapak Burhanuddin ketika melihat hukuman cambuk saat pertama kali dilakukan, orang yang kena cambuk tidak merasa malu atau jera. Tidak lama setelah penerapan hukuman orang tersebut masih mengulangi perbuatannya. Burhanuddin menjelaskan :
“saya melihat sendiri saat hukuman cambuk pertama kali dilakukan di Bireun, orang yang kena cambuk, tiga hari sesudah itu melakukan lagi kesalahannya, kira-kira begitu.”
Munawar Khalil (Mahasiswa Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry) berpandangan bahwa hukum cambuk di aceh belum efektif, masih memandang bulu. “belum efektif, masih terkesan memandang bulu”
Khalil menambahkan:
“Kalau hukum cambuk yang seperti sekarang, saya tidak setuju. Kalau hukum cambuk seperti yang sudah diatur dalam syari’at saya baru setuju. Tapi dari pada tidak, untuk gertak-gertak saja, sudah bisa lah.”


3.    Kalangan Intansi Pemerintah
Menurut Zaini Abdullah (Gubernur Aceh), “hukuman cambuk memberikan pembelajaran disamping berfungsi sebagai hukuman”. Saat ditanya oleh Kompas mengenai efektifitas hukuman cambuk dalam memberikan efek jera, Zaini Abdullah mengaku hanya mengikuti keinginan masyarakat. “Hukuman cambuk memberikan pendidikan dan pembelajaran, bukan hanya punishment (hukuman), bagi kami ini pendidikan, juga dalam bidang lain, perbankan dan ekonomi,” tutur Zaini Abdullah.”[7]
Sedangkan Teungku Muslim Ibrahim (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)) menjelaskan bahwa: Peraturan Hukum Cambuk sudah menjadi hukum positif, karena ada undang-undangnya. “hukum cambuk sudah dilegalkan di Aceh. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 18 Tahun 2001.[8]
Adapun Djailani Ahmad (Sekdekap Aceh Besar) mengharapkan dengan adanya hukuman cambuk, pelanggar syariat Islam bisa berkurang: “Dengan hukuman cambuk diharapkan menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan syariat Islam secara kaffah, sekaligus mengurangi kasus pelanggaran syariat di Aceh besar.”[9] Sebelumnya Djailani Ahmad telah mengimbau kepada masyarakat agar memahami dan menghormati ajaran agama serta menghindari pelanggaran melanggar hukum.
Makmur Ibrahim (kepala biro Hukum dan Humas pemerintah aceh) “berdampak sangat baik, kejadian melanggar qanun (peraturan daerah) berkurang.” “supaya banyak orang yang melihat sehingga timbul efek jera.”[10]
M Rusli (Kepala Satpol PP dan WH aceh Besar), “diharapkan pelaksanaan hukuman cambuk dapat menumbuhkan kesadarn masyarakat, khususnya warga aceh besar dalammelaksanakan syariat islam secara kaffah.”[11]
Munawar A Djalil (Kabid Hukum Dinas Syariat Islam Aceh), menurutnya selama ini ada kesan hukuman cambuk seakan menjadi hiburan bagi pelanggarnya. Ada tervonis yang nyengir kuda saat di cambuk. Ada yang mengangkat tangan ibarat penyanyi rock seusai dicambuk. Tak tampak sedikitpun rasa menyesal atau malu atas hukuman yang diterima. Munawar A Djalil mengakui ada tercambuk yang ambruk di altar pencambukan, tapi itu hanya sebahagian kecil. seakan sebat yang dilayangkan algojo tak mendatangkan efek jera sedikitpun.[12]
Tgk  Faisal Ali (Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA)), “Hukuman cambuk pelanggar syariat Islam itu sebagai efekjera, sehingga perbuatan yang di haramkan dalam agam tidak dilakukan, kedepan tentunya perlu ditingkatkan.” Faisal menambahkan huku syariat di Aceh harus benar-benar ditegakkan sesuai aturan yang berlaku khusus di Aceh dan para penegak hukum juga tidak perlu khawatir dalam menjalankan tugasnya, karena syariat islam merupakan kesepakatan manyoritas masyarakat serambi Mekkah.[13]


G.  KESIMPULAN
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Kebanyakan dari responden masih menganggap bahwa hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh belum efektif. Mereka melihat hukuman cambuk yang berlaku di aceh kurang adil, masih pilih kasih, tajam ke bawah tumpul ke atas. Selain itu hukuman cambuk tidak memberikan efek jera maupun efek malu bagi pelanggar syariat Islam, kecuali sebagian kecil saja. Padahal tujuan awal diberlakukannya hukuman cambuk adalah untuk memberi efek jera dan membuat malu pelanggar syariat. Terakhir penulis ingin mengutip peryataan Donald Black : “hukum bagaikan air, yang selalu mencari dan menumpuk pada strata yang paling rendah.” Sehingga semakin rendah strata  seseorang maka semakin banyak beban hukuman menumpuk padanya.[14]


DAFTAR PUSTAKA


[1]Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 1997), hlm. 334.

[2]Fitriyan dan Zamzami (ed), Republika, Pengesahan Qanun di Evaluasi, (online), http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/14/09/30/ncp78s6 pengesahan-qanun-dievaluasi, Senin, 23-02-2016 19:20 WIB.

[3]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hal. 6.

[4]Al Yasa' Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam “Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam,” (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2004), hal. 4.

[5]Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Intruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi keenam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at, 2008), hal. 143.

[6]Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: Unpad Press, 2009), hlm. 143.

[7]Icha Rastika, Kompas, Gubernur Aceh: Bagi Kami, Hukuman Cambuk Itu Pendidikan, (online), http://regional.kompas.com/read/2014/12/13/18045421/Gubernur.Aceh.Bagi.Kami.Hukuman.Cambuk.Itu.Pendidikan, Sabtu, 23/06/2016 22:17 WIB.

[8]Dadang Kusmayadi (ed), Hidayatullah, Rama-Ramai Gugat Syariat Islam Di Aceh, (online),  http://majalah.hidayatullah.com/2011/11/ramai-ramai-gugat-syariat-islam-di-aceh/, sabtu 23/06/2016 22:50 WIB.

[9]Syahril Ahmad, rri.co.id, Pemkab Aceh Besar Cambuk Lima Pelaku Khalwat, (online), http://www.rri.co.id/banda-aceh/post/berita/247587/syariat_islam/pemkab_aceh_besar_cambuk_lima_pelaku_khalwat.html, Minggu, 24/06/2016 19:07 WIB.

[10]Dianing Sari, Tempo.co, Aceh Klain Hukum cambuk berdampak Baik pada Warga, (online), https://m.tempo.co/read/news/2011/05/23/063336027/aceh-klaim-hukum-cambuk-berdampak-baik-pada-warga, Minggu, 24/06/2016, 20:37 WIB.

[11]Hasyim (ed), Serambi Indonesia, Terbukti Berkhalwat Dua Sejoli Di Cambuk, (online), http://aceh.tribunnews.com/2016/01/16/terbukti-berkhalwat-dua-sejoli-dicambuk, Sabtu, 23/06/2016, 22:45 WIB.

[12]Bakri (ed), Serambi Indonesia, Cambuk Penzina, Selamatkan Moral Anak Negeri, (online), http://aceh.tribunnews.com/2015/10/16/cambuk-penzina-selamatkan-moral-anak-negeri, Sabtu, 23/06/2016, 20:05 WIB.

[13]Hasyim (ed), Serambi Indonesia, tiga pria dicambuk karena judi, (online), http://aceh.tribunnews.com/2012/10/16/tiga-pria-dicambuk-karena-judi, Sabtu, 23/06/2016, 20:20 WIB.

[14]Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar