Jumat, 24 Februari 2017

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA DAN JEPANG


(Sejarah, SDM, Institusi, Materi, Metode, dan Tujuan Pendidikan Islam)

Oleh : Baihaqi M.Hasan
ABSTRAK
Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan sendiri sebelum Belanda dan Jepang menjajah Indonesia yaitu sistem pendidikan Islam, sebagaimana diterapkan di Pesantren, Dayah, Langgar maupun Surau. Sistem pendidikan yang ditawarkan oleh Belanda berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang sudah ada. Ketika Belanda menguasai Indonesia dibuat kebijakan yang menghambat kemajuan pendidikan Islam di Indonesia. Ini berbeda ketika Jepang menguasai Indonesia, dimana lembaga pendidikan Islam mendapat perhatian dari pemerintahan Jepang. Dalam sejarah perkembangannya, banyak lahir pembaharu-pembaharu pendidikan Islam diantaranya, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Syekh Ahmad Surkati dan KH. Abdul Halim. Dari mereka kemudian tumbuh lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren, Madrasah maupun Institut Agama Islam Negeri. Materi pendidikan Islam pada umumnya beroreintasi pada al-Qur’an dan Sunnah. Selanjutnya materi pendidikan ditentukan oleh institusi yang menyelengarakan pendidikan Islam. Adapun metode yang digunakan meliputi Metode Wetonan, sorongan dan hafalan. Tujuan pendidikan Islam pada masa itu juga tergantung pada lembaga yang menyelengarakan pendidikan. Selama perjalanannya pendidikan Islam telah memberi konstribusi yang signifikan bagi bangsa Indonesia.
Kata Kunci: Pendidikan Islam, Penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang




ABSTRACT

Indonesia already has its own education system before the Dutch and the Japanese invaded Indonesia, Islamic educational system, as applied in the pesantren, Islamic boarding school, small mosque and surau. The education system offered by the Dutch in contrast to the Islamic education system which already exists. When the Dutch controlled Indonesia created policies that impede the progress of Islamic education in Indonesia. It's different when Japan ruled Indonesia, where Islamic educational institutions received attention from the Japanese government. In the history of its development, many reformer-born Islamic educational reformer among others, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Ashari, Sheikh Ahmad Surkati and KH. Abdul Halim. They then grow from educational institutions such as the Islamic boarding school, Madrasah and Islamic Institute. Islamic educational materials in general beroreintasi to the Qur'an and Sunnah. Furthermore, educational material is determined by the educational institution that organizes Islam. The methods used include wetonan method, shove and rote. The purpose of Islamic education at that time also depends on who organizes educational institutions. During his journey Islamic education has given a significant contribution to the Indonesian nation.

Keywords : Islamic Education , the Dutch occupation , the Japanese Occupation


A.                 Pendahuluan
Sebelum Belanda datang ke Indonesia dengan memperkenalkan sekolah-sekolah dan sistem modern sebagaimana berkembang di Barat, Indonesia sudah mempunyai sistem pendidikan formal yaitu sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam selaku satu-satunya pendidikan formal yang ada pada masa itu memiliki sistem dan pengelolaan tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan yang dibawa oleh Belanda.
Pendidikan di Indonesia selama penjajahan Belanda dapat dikelompokkan kedalam dua priode, yaitu priode VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan priode pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada priode VOC, pendidikan di Indonesia didasarkan pada prinsip bisnis yaitu berdasarkan untung rugi dalam hukum-hukum ekonomi. VOC tidak segan-segan untuk berperang bila ada yang menghalagi tujuan mareka. Ini bisa perhatikan dari  hak aktroinya yang terdapat dalam suatu pasal yang berbunyi: “Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.”[1] Hal ini menyebabkan terpecahnya pendidikan yang ada di Indonesia. Disatu pihak adanya pendidikan dengan sistem pesantren dengan orientasi agama saja. Dipihak yang lain adanya pendidikan dengan sistem barat dengan orientasi sekuler yang tidak mempedulikan agama.
Pecahnya sistem pendidikan di Indonesia tentu tidak menguntungkan bagi perkembangan masyarakat Indonesia. Disatu sisi diperlukan pemahaman untuk mengetahui perkembangan dunia luar dengan metode dan teknologi yang dikembangkan oleh barat. Disisi lain juga dibutuhkan pemahaman keagamaan sebagaimana telah ditanamkan sebelum VOC datang ke Indonesia. Untuk memadukan dua sistem ini kemudian muncul madrasah-madrasah yang berkelas, memakai bangku dan meja yang dipelopori oleh para pembaharuan di Indonesia.

B.                 Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Sejak VOC menguasai wilayah Nusantara pada tahun 1617 M, mereka membiarkan saja lembaga pendidikan Islam (pesantren, surau, dayah maupun langgar) berjalan apa adanya dalam waktu yang cukup lama.[2] Pada tahun 1831 M, Van den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta. Ia mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Kemudian ia menyatukan departemen yang mengurus pendidikan dengan departemen agama, dan mendirikan satu sekolah Kristen di setiap daerah Keresidenan.[3]
Kebijakan yang di ambil oleh Van den Boss tidak terlepas dari kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan Kristen. Sedangkan untuk memudahkan para pribumi dalam mentaati peraturan pemerintahan Belanda timbul inisiatif dari Van de Capella ketika ia menjabat menjadi Gubernur pada tahun 1819 M untuk mendirikan sekolah dasar bagi penduduk pribumi.
Ia mengirim surat edaran kepada para bupati sebagai berikut: “dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara.”[4]
Spirit dari surat tersebut mengambarkan bahwa kolonial Belanda tidak menganggap pendidikan agama Islam yang ada di Pesantren, masjid, maupun yang ada di musalla karena pesantren hanya alat untuk meninggikan akhlak rakyat saja dan dianggap sumber semangat perjuangan rakyat. Pendidikan agama Islam tidak bisa membuat para santri melek huruf latin. Dengan demikian para santri tidak bisa memahami undang-undang yang telah dibuat.
Politik yang dijalankan oleh pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia yang manyoritas beragama Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya. dengan begitu mereka menerapkan peraturan dan kebijakan sebagai berikut:[5]
a)    Pada tahun 1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden.
b)    Tahun 1905 M pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru berdasarkan nasehat dari badan Priesterraden yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (maksudnya pengajian) harus minta izin terlebih dahulu pada pemerintahan Belanda.
c)     Pada tahun 1925 M mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi bagi pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran pengajian.
d)   Pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa wewenang yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinya, atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh Pemerintah Belanda yang disebut dengan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).
Ordonansi Sekolah Liar dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928 yang berupa sumpah pemuda. Selain itu, munculnya kebijakan-kebijakan di atas merupakan upaya Belanda dalam melumpuhnya pendidikan Islam yang ada di Indonesia.
Belanda berhasil di usir oleh Jepang dalam Perang Dunia ke II. Kemudian Jepang menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan:  Asia Timur Raya untuk Asia dan Asia Baru.
Pada mulanya pemerintah Jepang menampakkan diri seolah-olah membela kepentingan Islam. Ini bisa diperhatikan dari beberapa kebijakan pemerintahan Jepang, antara lain:[6]
a)    Kantor Urusan Agama yang pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor Islamistische Saken yang dipimpin oleh Orientalisme Belanda diubah oleh Jepang menjadi Kantor Samubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu K.H.Hasyim Asy’ari.
b)    Pondok Pesantren yang besar-besar sering mendapat bantuan dari pembesar Jepang.
c)     Pemerintahan Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta.
d)   Pemerintahan Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar kemiliteran bagi pemuda Islam.
Kebijakan-kebijakan tersebut nampak seakan-akan Jepang tidak ada kepentingan disitu. Seolah itu semua demi kepentingan umat Islam. Kenyataanya Jepang mempunyai maksud tersendiri dalam membina kekuatan umat Islam dan Nasionalis yaitu untuk kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang sendiri.
Hal ini bisa diperhatikan ketika Perang Dunia ke II melutus. Jepang mendapat tekanan yang cukup berat dari pihak sekutu. Untuk membiayai perang tersebut Jepang mengumpulkan secara paksa kekayaan bumi Nusantara. Selain itu Jepang juga membentuk pertahanan rakyat, seperti Haihoo, Peta, Keibodan, Seinan dan lain sebagainya.
Akibatnya dunia pendidikan umum terbengkalai, karena murid-murid setiap hari hanya disuruh gerak badan, baris-berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan lain sebagainya. Berbeda dengan pesantren yang bebas pengawasan langsung dari pemerintah Jepang. Pendidikan Pesantren masih berjalan dengan agak wajar.[7]

C.                 SDM Pendidikan Islam pada masa Penjajahan Belanda
Sepanjang sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan Kolonial Belanda dan Jepang banyak lahir tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Di antara tokoh-tokoh tersebut yaitu:
a)    KH. Ahmad Dahlan (1869-1923)
KH. Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1869 M. Nama kecil beliau adalah Muhammad Darwis. Ayahnya seorang Ulama yang bernama KH. Abu Bakar bin KH. Sulaiman, pejabat Khatib di Mesjid bessar Kesultanan Yogyakarta.  Ibunya adalah putri dari H. Ibrahim bin KH. Hasan, seorang pejabat penghulu kesultanan.[8]
KH. Ahmad Dahlan sangat memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan umat Islam saat itu. Beliau melihat bahwa keadaan umat Islam sangat memprihatinkan akibat dari pemerintahan Kolonial Belanda. Umat Islam saat itu berada dalam keterbelakangan dan kebodohan,  kemiskinan serta lemahnya sistem pendidikan, sehingga tidak mampu menandingi misi kaum Zindik dan Kristen. Umat Islam dinilai juga tidak mampu menghadapi tantangan zaman, karena lemah dalam berbagai bidang kehidupan.[9]
Untuk mengatasi masalah tersebut, terutama yang menyangkut ilmu pengetahuan baik agama maupun umum, KH. Ahmad Dahlan terdorong untuk mendirikan organisasi yang kemudian bernama Muhammadiyah. Organisasi tersebut berdiri pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. Adapun salah satu faktor didirikan Muhammadiyah yaitu karena kegagalan institusi pendidikan Islam dalam mengatasi tuntutan kemajuan zaman.[10]
Dalam mengatasi kegagalan institusi pendidikan Islam, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah tersebut terdiri atas sekolah Diniyah yang khusus mengajarkan agama, dan sekolah-sekolah model pemerintah yang memberikan pengajaran agama dan pengajaran umum. Metode Sekolah Diniyah Muhammadiyah berbeda dengan metode pesantren pada umumnya yang belajar dengan metode halaqah. Model pesantren Muhammadiyah mengambil sistem pendidikan Barat, yaitu sistem klasikal.[11]
b)    KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947)
KH. Hasyim Asy’ari lahir di Jombang pada tanggal 14 Februari 1871 M. Beliau belajar agama Islam pada ayahnya yaitu Kiai Asy’ari. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Probolinggo, selanjutnya pindah ke Plagitan dan pesantren-pesantren lainnya.[12]
Hasyim Asy’ari pernah menuntut ilmu di Mekkah selama 8 tahun. Sepulang dari Mekkah beliau mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1899 M. pembaharuan pertama pesantren Tebuireng yaitu didirikannya Madrasah Salafiah pada tahun 1919 M, yang merupakan tangga untuk memasuki tingkat menegah pesantren Tebuireng.[13]
Salah satu jasa besar KH. Hasyim Asy’ari yaitu keikutsertaan beliau dalam mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926 M. Disitu beliau menjabat sebagai Syeihul Akbar.
Nahdhatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan melihat berbagai fenomena yang terjadi dimasyarakat, terutama dengan tertinggalnya masyarakat di bidang pendidikan. Oleh karena itu lembaga pendidikan, terutama pesantren diutamakan.
Pesantren yang dikembangkan NU tidak hanya menyelenggarakan pendidikan model lama, tetapi juga diselengarakan sekolah-sekolah agama, seperti Madrasah Ibtidaiyah, madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, bahkan sekolah-sekolah umum. Di bidang pendidikan NU membentuk satu badan khusus yaitu Ma’arif, yang bertugas untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang berada di bawah naugan NU.[14] Demikianlah peran KH. Hasyim Asy’ari  dibidang pendidikan.
c)     Syekh Ahmad Surkati (1872-1943)
Syekh Sukarti lahir di Dunggala, suatu daerah di Sudan pada tahun 1872. Beliau didatangkan ke Indonesia oleh Jami’at Khair. Pada tahun 1911 Ahmad Sukarti sampai di Jakarta dan langsung mengajar di lembaga pendidikan Jami’at Khair.[15]
Lebih kurang dua tahun mengajar di Jami’at Khair, kemudian beliau mendirikan organisasi sendiri pada tanggal 17 Juli 1914 M di Jakarta dengan nama al-Islah wal Irsyad, yang kemudian dikenal dengan al-Irsyad.
Tujuan perkumpulan al-Irsyad yaitu untuk memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di Indonesia. Dalam bidang pendidikan al-Irsyad mendirikan madrasah-madrasah seperti; Awaliyah, lama pelajaran 3 tahun, Ibtidaiyah, lama pelajaran 4 tahun, Tajhiziyah,  lama pelajaran 2 tahun, Mu’alimin,  lama belajar 4 tahun, dan Takhassus, lama belajar 2 tahun.[16] Demikianlah peran Ahmad Sukarti dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Peranya sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan dan pemikiran di Indonesia.
d)   KH. Abdul Halim (1887-1962)
KH. Abdul Halim lahir di Ciberelang, Majalengka pada tahun 1887 M. Beliau merupakan seorang pelopor gerakan pembaharuan di Majalengka Jawa Barat. Kemudian berkembang menjadi Persyerikatan Ulama yang dimulai pada tahun 1911.[17]
Adapun yang mendorong Abdul Halim untuk melakukan perubahan sistem pendidikan tradisional yang ada di daerah asalnya yaitu karena pengaruh pengalaman beliau ketika berada di Mekkah. Disana beliau cukup terkesan dengan penyelenggara dua lembaga pendidikan, yaitu Bab al-Salam yang bertepat dekat Mekkah, dan yang satunya lagi di Jeddah. Lembaga pendidikan tersebut sudah cukup maju dengan meninggalkan sistem lama yang memakai halaqah.[18]
Sepulang dari Mekkah beliau mendirikan organisasi yang bernama Hayatul Qulub pada tahun 1911 yang bergerak di bidang ekonomi dan pendidikan. Dibidang pendidikan Abdul Halim mulanya menyelengarakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang dewasa. Umumnya materi yang diberikan adalah pelajaran-pelajaran fiqh dan hadits.
Untuk mengupayakan kualitas lembaga pendidikannya, Abdul Halim menjalin hubungan dengan Jami’at Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Beliau mewajibkan muridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab, yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.[19]

D.                Institusi Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Secara garis besar institusi pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di kelompokkan menjadi dua, yaitu institusi yang bersifat formal seperti madrasah dan Istitusi Agama Islam Negeri, ada juga yang bersifat nonformal seperti surau/langgar dan pesantren.
a)    Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam paling awal dan tertua di Indonesia. Ia merupakan basis penyebaran sistem pendidikan madrasah di Indonesia. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren mengajarkan santrinya untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan cara menanamkan moral agama Islam sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat.
Pesantren berasal dari santri, yang berarti “terpelajar” (learned) atau “ulama” (sholar). Jika santri menunjuk kepada murid, maka pesantren menuju kepada lembaga pendidikan. Jadi, pesantren adalah tempat belajar bagi para santri.[20] Pesantren memiliki sebutan lain seperti ‘surau’ di Sumatera Barat, “meunasah” atau “dayah” di Aceh. Sebutan tersebut tergantung latar belakang sejarah lokal masing-masing daerah.
Dari semua istilah tersebut pesantren merupakan istilah yang paling dikenal dan bertahan dibandingkan dengan surau, dayah, meunasah. Ketiga istilah tersebut masih juga dipakai oleh masyarakat setempat, tetapi perkembangannya tidak begitu pesat sehingga penggunaanya semakin berkurang.
Mengenai kapan pesantren mulai muncul, tidak ada kesepakatan di kalangan sarjana, akan tetapi pesantren diperkirakan mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada abad  ke-19. Hal ini didukung oleh inspeksi yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1873 tentang pendidikan untuk pribumi. Disitu disebutkan bahwa jumlah pesantren cukup banyak, berkisar pada angka 20.000 sampai dengan 25.000 pesantren dengan jumlah santri sekitar 300.000 santri.[21]
Pesantren memiliki ciri khas yang membedakan dengan lembaga pendidikan Islam yang lain. Menurut Hasbullah dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia ada lima ciri khas pesantren, yaitu:[22]
a.      Pondok
Disini kiai bersama santrinya bertempat tinggal. Pondok sebagai tempat tinggal bersama dimanfaatkan untuk bekerja sama dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren lebih menonjolkan fungsinya sebagai asrama dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.
b.     Mesjid
Masjid di saamping berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi segai tempat ibadah. Biasanya waktu belajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum maupun sesudahnya. Dalam perkembangannya jumlah saantri dan tingkatan pelajaran meningkat, maka dibangun ruangan-ruangan khusus untuk halaqah.
c.      Santri
Santri meurpakan unsur pokok dari pesantren. Biasanya santri terdiri dari dua kelompok yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim yaitu santri yang berasal dari daerah jauh dan menetap di pesantren, sedangkan santri kalong yaitu santri yang berasal dari daerah sekitar dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren.
d.     Kiai
Kiai merupakan hal mutlak bagi sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan pengajaran. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan suatu pesantren tergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik serta wibawa kiai tersebut.
e.      Kitab-kitab Islam Klasik
Unsur pokok lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lain yaitu bahwasanya di pesantren diajarkan kitab-kitab Islam klasik atau sekarang dikenal dengan kitab kuning, yang dikarang oleh ulama terdahulu mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab.
b)    Madrasah
Madrasah merupakan isim makan kata darasa dalam bahasa Arab, yang berarti tempat duduk untuk belajar yang sekarang lebih popular dengan sebutan sekolah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam mulai tumbuh di Indonesia pada awal abad ke-20.[23] Kelahiran madrasah tidak terlepas dari ketidakpuasan teerhadap sistem pesantren yang hanya menitik beratkan agama, disisi lain sistem pendidikan umum saat itu tidak mempedulikan agama.
Ini diperhatikan dari fungsi madrasah sebagai penghubung antara sistem lama dengan sistem baru dengan cara mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Dengan demikian, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan dilembaga pesantren ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.[24]
Dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Mahmud Yunus menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis adalah Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) di Padang. Ini merupakan madrasah pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Pada mulanya madrasah Adabiyah ini bercorak agama semata-mata, kemudian pada tahun 1915 berubah menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah. HIS Adabiyah merupakan madrasah pertama yang memasukkan pelajaran umum kedalamnya.[25]
Selain Madrasah Adabiyah ada juga madrasah Diniyah (Diniyah School) yang didirikan oleh Zainuddin Labai El Yunusiy di Padang Panjang pada tahun 1915. Kemudian lahir madrasah Muhammadiyah pada tahun 1918. Di Ladang Lawas didirikan Arabiyah School oleh Syekh Abbas pada tahun 1918. Pada tahun 1921 lahir Sumatera Thawalib yang dipelopori oleh Abdul Karim Amrullah. Kemudian KH. Hasyim Asy’ari madrasah salafiah di Tebuireng Jombang Jawa Timur pada tahun 1916. Madrasah-madrasah tersebut merupakan pionir dalam melahirkan madrasah-madrasah di berbagai daerah Nusantara.[26]
c)     Institut Agama Islam Negeri
Kelahiran Institut Agama Islam Negeri tidak terlepas dari usaha gigih umat Islam dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam yang lengkap, mulai dari pesantren sampai ke tingkat perguruan tinggi. Menurut Mahmud Yunus, Institut Agama Islam Negeri pertama kali didirikan pada tahun 1940 di Padang, di bawah pimpinannya sendiri.[27] Lembaga pendidikan ini terdiri dari dua fakultas, yaitu syariat atau agama dan pendidikan serta bahasa Arab.
Kemudian didirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, dengan bantuan pemerintahan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Juli 1945. Belajar di STI berlangsung selama dua tahun sampai mencapai sarjana muda, kemudian ditambah dua tahun lagi untuk mendapat gelar semacam sarjana, serta setelah menulis tesis maka berhak mendapat gelar Doktor.[28]

E.                 Materi Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Adapun materi pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang tidak terlepas dari lembaga penyelengara pendidikan itu sendiri. Pesantren misalnya, materi pelajaran ditetapkan oleh kiai dengan menunjukkan kitab-kitab apa yang harus dipelajari. Penggunaan kitab dari jenis kitab yang rendah dalam satu disiplin ilmu keislaman sampai pada tingkat yang tinggi. Ukuran kealiman seorang santri bukan dari banyak kitab yang dipelajari, tetapi diukur dengan praktik mengajar sebagai guru mengaji, dapat memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan kepada santri-santri yang lain.[29]
Menurut Mahmud Yunus, materi pendidikan Islam pada pondok Pesantren meliputi: pengajian al-Qur’an, pengajian kitab yang meliputi beberapa tingkat, diantaranya mengaji nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Ajrumiyah, matan Bina, Fathul Qarib dan sebagainya. Selanjutnya mengaji tauhid, nahwu, sharaf, dan fiqh dengan memakai kitab-kitab Sanusi, Syaikh Khalid (Azhari, ‘Asymawi), Kailani, Fathul Mu’in dan sebagainya. Kemudian  dilanjutkan dengan mengaji tauhid, nahwu, sharaf, fiqh, tafsir dan lain-lain dengan memakai kitab-kitb Kifatul ‘Awam (Ummul-Barahin), Ibnu ‘Aqil, Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan sebagainya.[30]
Pada umumnya, materi pendidikan Islam tingkat permulaan meliputi: pertama, belajar membaca al-Qur’an dan belum dirasakan perlu memahami isinya, kedua, pelajaran dan praktik shalat, ketiga, pelajaran ketuhanan dan ketauhidan yang pada garis besarnya bersifat pada sifat dua puluh. Bagi mereka yang ingin memperdalam agamanya diberikan pelajaran bahasa Arab, Ushul dan Fiqh yang pada dasarnya ditulis dalam bahasa Arab. Fiqh ini mengenai tharah, shalat, zakat, puasa dan ibadah haji. Pada tingkat yang lebih tinggi dipelajari pula peraturan-peraturan mengenai nikah, talaq, rujuk serta faraidl.[31]
Adapun materi pendidikan Islam di madrasah, selain diajarkan ilmu agama juga diajarkan ilmu umum. Pengetahuan umum yang diajarkan pada masa-masa awal yaitu: membaca dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia, berhitung, ilmu bumi, sejarah Indonesia dan Dunia serta olahraga dan kesehatan.[32] Selanjutnya materi pendidikan di madrasah berubah seiring dengan kemajuan zaman.
F.                 Metode Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Metode pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga di tentukan oleh lembaga yang menyelengarakan pendidikan itu sendiri. Pesantren misalnya, metode yang sering digunakan di  pesantren yaitu:
1.     Metode Wetonan, yaitu suatu metode dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing, dan mencatat apabila perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera disebut dengan halaqah.
2.     Metode Sorongan, yaitu suatu metode dimana santri menghadap kiai seoarang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya.
3.     Metode Hafalan, yaitu suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.[33]
Adapun metode yang digunakan di madrasah yaitu metode yang bersifat klasikal yaitu metode dengan cara-cara barat seperti susunan pelajaranya tidak hanya terdiri dari ilmu agama tetapi juga terdiri dari ilmu umum.
G.                Tujuan Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Mengenai tujuan pendidikan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga  tidak terlepas dari lembaga penyelengara pendidikan itu sendiri. Pesantren misalnya, tujuan utamanya yaitu menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai masalah agama semata. Sehingga hakikat tujuan pesantren yaitu terwujudnya penguasaan ilmu agama Islam sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab produk ulama terdahulu serta tertanamnya perasaan agama yang mendalam dan mengamalkanya dalam kehidupan sehari-hari.[34]
Adapun tujuan pendidikan Islam di madrasah bisa dilihat dari materi-materi yang di ajarkan dilembaga pendidikan tersebut, Muhammadiyah misalnya, tujuan dari pendidikan Islam mencakup tiga aspek, yaitu membentuk manusia yang berkarakter, berakhlak dan bermoral yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Menumbuhkan kesadaran individu yang utuh dan berkesinambungan antara perkembangan mental dan jasmani, antara kenyakinan dan intelek, antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat. Terakhir menumbuhkan sikap dan kesediaan serta keinginan hidup bermasyarakat.[35]

H.               Kesimpulan
Sebelum Belanda datang, Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan formal yaitu pesantren. Awal mula berkuasa, Belanda membiarkan pesantren berjalan apa adanya. Seiring berjalannya waktu dibuatlah kebijakan-kebijakan yang menghambat perkembangan pendidikan Islam, khususnya Pesantren.
Sepanjang sejarah penjajahan Belanda lahir beberapa tokoh yang sangat berperan dalam mengembangkan pendidikan Islam. Diantara tokoh-tokoh tersebut yaitu KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah, kemudian melahirkan sekolah-sekolah dengan coraknya tersendiri. Kemudian ada KH. Hasyim Asy’ari, yang mempelopori lahirnya organisasi NU. Organisasi ini sangat berperan dalam menjaga dan membantu pertumbuhan pesantren. Selanjutnya ada Syekh Ahmad Surkati dengan organisasi al-Irsyadnya dan KH. Abdul Halim dengan organisaninya Hayatul Qulub.
Adapun lembaga pendidikan yang cukup berperan dimasa penjajahan Belanda dan Jepang yaitu Pesantren, Madrasah dan Institut Agama Islam Negeri. Materi pendidikan Islam yang diajarkan pada masa tersebut tergantung dari lembaga penyelengaran pendidikan itu sendiri. Pesantren misalnya, materi ajarnya di tentukan oleh para kiai yang berorientasi agama saja. Sedangkan di madrasah materi ajarkan tidak hanya agama saja tetapi juga meliputi ilmu umum.
Metode yang digunakan dalam pendidikan Islam masa penjajahan Belanda dan Jepang juga bervariasi. Di pesantren digunakan Metode Wetona,  sorongan dan hafalan. Sedangkan di Madrasah digunakan metode klasikal sebagaimana metode yang dibawa oleh barat.
Tujuan pendidikan masa itu juga tergantung pada lembaga yang menyelengarakan pendidikan. Seperti tujuan pendidikan Islam di pesantren yang menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai masalah agama semata. Sedangkan tujuan pendidikan di madrasah yaitu selain menguasai ilmu agama juga menguasai ilmu umum.

I.                   Daftar Pustaka
A. Junairi,  Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad ke-20, Surabaya: Bina Ilmu, 1981.
A. Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembagunan Perguruan Agama, Jakarta: Dermaga, 1982.
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa “Visi, Misi dan Aksi,” (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004..
Abudin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Grasindo, 2001.
Ahmad Syafi’i Ma’rif, Islam dan Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Amir Hamzah Wirjosukrto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, cet. iv, Jember: Muria Offset, 1985.
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad Ke-20 “Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas,” Jakarta: Kencana, 2012.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.
Djumhur-Danasaputra, Sejarah Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 1979.
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985.
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999.
Muhaimin,  Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, cet.ii, Jakarta: PSAPM, 2004.
Muwardi Sutedjo, dkk, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Ditjen Binbaga Islam dan UT, 1992.
Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam “Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia.” Jakarta: Kencana, 2008.
Zulhairi, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, cet. xiii, Jakarta: Bumi Aksara, 2013.


[1]Zulhairi, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, cet. xiii, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal.148.

[2]Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa “Visi, Misi dan Aksi,” (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 14-15.

[3]Zulhairi, dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 148.

[4]Zulhairi, dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 148.

[5]Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam “Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia.” (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 307-308.

[6]Zulhairi, dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 151.

[7]Zulhairi, dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 152.

[8]A. Junairi,  Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad ke-20, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hal. 24. 

[9]Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hal. 66.

[10]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 116-117.

[11]Ahmad Syafi’i Ma’rif, Islam dan Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 66.

[12]I. Djumhur-Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV Ilmu, 1979), hal. 164.

[13]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal. 122-123.

[14]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal. 127.

[15]Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 90-91.

[16]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), hal. 307.

[17]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 80.

[18]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal. 136.

[19]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal. 138.

[20]Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad Ke-20 “Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas,” (Jakarta: Kencana, 2012), hal.75-76.

[21]Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 161.

[22]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan…, hal. 47-49.

[23]A. Timur Djaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembagunan Perguruan Agama, (Jakarta: Dermaga, 1982), hal. 19.

[24]Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 82.

[25]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), hal, 63.

[26]Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 292-293.

[27]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hal.103.

[28]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal. 103-104.

[29]Amir Hamzah Wirjosukrto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, cet. iv, (Jember: Muria Offset, 1985), hal. 27-28.

[30]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan…, hal.54-55.

[31]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam…, hal. 14-16.

[32]Muwardi Sutedjo, dkk, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam dan UT, 1992), hal 42.

[33]Abudin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), hal. 105-106.

[34]Muhaimin,  Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, cet.ii, (Jakarta: PSAPM, 2004), hal.73.
[35] Muhaimin,  Wacana Pengembangan…, hal. 79.