(Sejarah, SDM, Institusi, Materi, Metode, dan Tujuan Pendidikan
Islam)
Oleh : Baihaqi M.Hasan
ABSTRAK
Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan sendiri sebelum Belanda
dan Jepang menjajah Indonesia yaitu sistem pendidikan Islam, sebagaimana
diterapkan di Pesantren, Dayah, Langgar maupun Surau. Sistem pendidikan yang
ditawarkan oleh Belanda berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang sudah ada.
Ketika Belanda menguasai Indonesia dibuat kebijakan yang menghambat kemajuan
pendidikan Islam di Indonesia. Ini berbeda ketika Jepang menguasai Indonesia,
dimana lembaga pendidikan Islam mendapat perhatian dari pemerintahan Jepang.
Dalam sejarah perkembangannya, banyak lahir pembaharu-pembaharu pendidikan
Islam diantaranya, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Syekh Ahmad Surkati
dan KH. Abdul Halim. Dari mereka kemudian tumbuh lembaga-lembaga pendidikan
Islam seperti Pesantren, Madrasah maupun Institut Agama Islam Negeri. Materi
pendidikan Islam pada umumnya beroreintasi pada al-Qur’an dan Sunnah.
Selanjutnya materi pendidikan ditentukan oleh institusi yang menyelengarakan
pendidikan Islam. Adapun metode yang digunakan meliputi Metode Wetonan,
sorongan dan hafalan. Tujuan pendidikan Islam pada masa itu juga tergantung
pada lembaga yang menyelengarakan pendidikan. Selama perjalanannya pendidikan
Islam telah memberi konstribusi yang signifikan bagi bangsa Indonesia.
Kata Kunci: Pendidikan Islam, Penjajahan Belanda, Penjajahan
Jepang
ABSTRACT
Indonesia already has its own education
system before the Dutch and the Japanese invaded Indonesia, Islamic educational
system, as applied in the pesantren, Islamic boarding school, small mosque and
surau. The education system offered by the Dutch in contrast to the Islamic
education system which already exists. When the Dutch controlled Indonesia
created policies that impede the progress of Islamic education in Indonesia.
It's different when Japan ruled Indonesia, where Islamic educational
institutions received attention from the Japanese government. In the history of
its development, many reformer-born Islamic educational reformer among others,
KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Ashari, Sheikh Ahmad Surkati and KH. Abdul Halim.
They then grow from educational institutions such as the Islamic boarding
school, Madrasah and Islamic Institute. Islamic educational materials in
general beroreintasi to the Qur'an and Sunnah. Furthermore, educational
material is determined by the educational institution that organizes Islam. The
methods used include wetonan method, shove and rote. The purpose of Islamic
education at that time also depends on who organizes educational institutions.
During his journey Islamic education has given a significant contribution to
the Indonesian nation.
Keywords : Islamic Education , the Dutch occupation , the Japanese Occupation
A.
Pendahuluan
Sebelum
Belanda datang ke Indonesia dengan memperkenalkan sekolah-sekolah dan sistem
modern sebagaimana berkembang di Barat, Indonesia sudah mempunyai sistem
pendidikan formal yaitu sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam selaku
satu-satunya pendidikan formal yang ada pada masa itu memiliki sistem dan
pengelolaan tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan yang dibawa oleh
Belanda.
Pendidikan di Indonesia selama penjajahan
Belanda dapat dikelompokkan kedalam dua priode, yaitu priode VOC (Vereenigde
Oost-indische Compagnie) dan priode pemerintah Hindia Belanda (Nederlands
Indie). Pada priode VOC, pendidikan di Indonesia didasarkan pada prinsip
bisnis yaitu berdasarkan untung rugi dalam hukum-hukum ekonomi. VOC tidak
segan-segan untuk berperang bila ada yang menghalagi tujuan mareka. Ini bisa
perhatikan dari hak aktroinya yang
terdapat dalam suatu pasal yang berbunyi: “Badan ini harus berniaga di
Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan agama Kristen
dengan mendirikan sekolah.”[1]
Hal ini menyebabkan terpecahnya pendidikan yang ada di Indonesia. Disatu pihak
adanya pendidikan dengan sistem pesantren dengan orientasi agama saja. Dipihak
yang lain adanya pendidikan dengan sistem barat dengan orientasi sekuler yang
tidak mempedulikan agama.
Pecahnya
sistem pendidikan di Indonesia tentu tidak menguntungkan bagi perkembangan
masyarakat Indonesia. Disatu sisi diperlukan pemahaman untuk mengetahui
perkembangan dunia luar dengan metode dan teknologi yang dikembangkan oleh
barat. Disisi lain juga dibutuhkan pemahaman keagamaan sebagaimana telah
ditanamkan sebelum VOC datang ke Indonesia. Untuk memadukan dua sistem ini
kemudian muncul madrasah-madrasah yang berkelas, memakai bangku dan meja yang
dipelopori oleh para pembaharuan di Indonesia.
B.
Sejarah Pendidikan
Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Sejak VOC menguasai
wilayah Nusantara pada tahun 1617 M, mereka membiarkan saja lembaga pendidikan
Islam (pesantren, surau, dayah maupun langgar) berjalan apa adanya dalam waktu
yang cukup lama.[2]
Pada tahun 1831 M, Van den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta. Ia
mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan
sebagai sekolah pemerintah. Kemudian ia menyatukan departemen yang mengurus pendidikan
dengan departemen agama, dan mendirikan satu sekolah Kristen di setiap daerah
Keresidenan.[3]
Kebijakan
yang di ambil oleh Van den Boss tidak terlepas dari kepentingan mereka sendiri,
terutama untuk kepentingan Kristen. Sedangkan untuk memudahkan para pribumi
dalam mentaati peraturan pemerintahan Belanda timbul inisiatif dari Van de
Capella ketika ia menjabat menjadi Gubernur pada tahun 1819 M untuk mendirikan
sekolah dasar bagi penduduk pribumi.
Ia mengirim
surat edaran kepada para bupati sebagai berikut: “dianggap penting untuk
secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya
kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah
untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara.”[4]
Spirit dari surat
tersebut mengambarkan bahwa kolonial Belanda tidak menganggap pendidikan agama
Islam yang ada di Pesantren, masjid, maupun yang ada di musalla karena
pesantren hanya alat untuk meninggikan akhlak rakyat saja dan dianggap sumber
semangat perjuangan rakyat. Pendidikan agama Islam tidak bisa membuat para
santri melek huruf latin. Dengan demikian para santri tidak bisa
memahami undang-undang yang telah dibuat.
Politik yang
dijalankan oleh pemerintah Belanda terhadap bangsa Indonesia yang manyoritas
beragama Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu
Kristen dan rasa kolonialismenya. dengan begitu mereka menerapkan peraturan dan
kebijakan sebagai berikut:[5]
a) Pada tahun
1882 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi
kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden.
b) Tahun 1905 M
pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan baru berdasarkan nasehat dari badan
Priesterraden yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (maksudnya
pengajian) harus minta izin terlebih dahulu pada pemerintahan Belanda.
c) Pada tahun
1925 M mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi bagi pendidikan agama Islam
yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran pengajian.
d) Pada tahun
1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa wewenang yang dapat memberantas
dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinya, atau memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh Pemerintah Belanda yang disebut dengan
Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).
Ordonansi Sekolah
Liar dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-Islamisme pada tahun
1928 yang berupa sumpah pemuda. Selain itu, munculnya kebijakan-kebijakan di
atas merupakan upaya Belanda dalam melumpuhnya pendidikan Islam yang ada di
Indonesia.
Belanda
berhasil di usir oleh Jepang dalam Perang Dunia ke II. Kemudian Jepang
menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan membawa semboyan: Asia Timur Raya untuk Asia dan Asia
Baru.
Pada mulanya
pemerintah Jepang menampakkan diri seolah-olah membela kepentingan Islam. Ini
bisa diperhatikan dari beberapa kebijakan pemerintahan Jepang, antara lain:[6]
a) Kantor
Urusan Agama yang pada zaman Belanda disebut Kantoor Voor Islamistische Saken
yang dipimpin oleh Orientalisme Belanda diubah oleh Jepang menjadi Kantor
Samubi yang dipimpin oleh ulama Islam sendiri yaitu K.H.Hasyim Asy’ari.
b) Pondok
Pesantren yang besar-besar sering mendapat bantuan dari pembesar Jepang.
c) Pemerintahan
Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta.
d) Pemerintahan
Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar
kemiliteran bagi pemuda Islam.
Kebijakan-kebijakan
tersebut nampak seakan-akan Jepang tidak ada kepentingan disitu. Seolah itu
semua demi kepentingan umat Islam. Kenyataanya Jepang mempunyai maksud
tersendiri dalam membina kekuatan umat Islam dan Nasionalis yaitu untuk
kepentingan perang Asia Timur Raya yang dipimpin oleh Jepang sendiri.
Hal ini bisa
diperhatikan ketika Perang Dunia ke II melutus. Jepang mendapat tekanan yang
cukup berat dari pihak sekutu. Untuk membiayai perang tersebut Jepang
mengumpulkan secara paksa kekayaan bumi Nusantara. Selain itu Jepang juga
membentuk pertahanan rakyat, seperti Haihoo, Peta, Keibodan, Seinan dan lain
sebagainya.
Akibatnya
dunia pendidikan umum terbengkalai, karena murid-murid setiap hari hanya
disuruh gerak badan, baris-berbaris, bekerja bakti (romusha), bernyanyi dan
lain sebagainya. Berbeda dengan pesantren yang bebas pengawasan langsung dari
pemerintah Jepang. Pendidikan Pesantren masih berjalan dengan agak wajar.[7]
C.
SDM
Pendidikan Islam pada masa Penjajahan Belanda
Sepanjang
sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan Kolonial Belanda dan
Jepang banyak lahir tokoh-tokoh yang berperan dalam perkembangan pendidikan
Islam di Indonesia. Di antara tokoh-tokoh tersebut yaitu:
a) KH. Ahmad
Dahlan (1869-1923)
KH. Ahmad
Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1869 M. Nama kecil beliau adalah Muhammad
Darwis. Ayahnya seorang Ulama yang bernama KH. Abu Bakar bin KH. Sulaiman,
pejabat Khatib di Mesjid bessar Kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri dari H. Ibrahim bin KH.
Hasan, seorang pejabat penghulu kesultanan.[8]
KH. Ahmad
Dahlan sangat memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan umat Islam saat itu.
Beliau melihat bahwa keadaan umat Islam sangat memprihatinkan akibat dari
pemerintahan Kolonial Belanda. Umat Islam saat itu berada dalam keterbelakangan
dan kebodohan, kemiskinan serta lemahnya
sistem pendidikan, sehingga tidak mampu menandingi misi kaum Zindik dan
Kristen. Umat Islam dinilai juga tidak mampu menghadapi tantangan zaman, karena
lemah dalam berbagai bidang kehidupan.[9]
Untuk
mengatasi masalah tersebut, terutama yang menyangkut ilmu pengetahuan baik
agama maupun umum, KH. Ahmad Dahlan terdorong untuk mendirikan organisasi yang
kemudian bernama Muhammadiyah. Organisasi tersebut berdiri pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H. Adapun salah satu faktor didirikan Muhammadiyah yaitu karena
kegagalan institusi pendidikan Islam dalam mengatasi tuntutan kemajuan zaman.[10]
Dalam
mengatasi kegagalan institusi pendidikan Islam, Muhammadiyah mendirikan
sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah tersebut terdiri atas sekolah Diniyah yang
khusus mengajarkan agama, dan sekolah-sekolah model pemerintah yang memberikan
pengajaran agama dan pengajaran umum. Metode Sekolah Diniyah Muhammadiyah
berbeda dengan metode pesantren pada umumnya yang belajar dengan metode
halaqah. Model pesantren Muhammadiyah mengambil sistem pendidikan Barat, yaitu
sistem klasikal.[11]
b) KH. Hasyim
Asy’ari (1871-1947)
KH. Hasyim
Asy’ari lahir di Jombang pada tanggal 14 Februari 1871 M. Beliau belajar agama
Islam pada ayahnya yaitu Kiai Asy’ari. Kemudian melanjutkan ke Pesantren
Probolinggo, selanjutnya pindah ke Plagitan dan pesantren-pesantren lainnya.[12]
Hasyim
Asy’ari pernah menuntut ilmu di Mekkah selama 8 tahun. Sepulang dari Mekkah
beliau mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang pada tanggal 12 Rabiul Awal
tahun 1899 M. pembaharuan pertama pesantren Tebuireng yaitu didirikannya Madrasah
Salafiah pada tahun 1919 M, yang merupakan tangga untuk memasuki tingkat
menegah pesantren Tebuireng.[13]
Salah satu
jasa besar KH. Hasyim Asy’ari yaitu keikutsertaan beliau dalam mendirikan
organisasi Nahdhatul Ulama (NU) pada tanggal 31 Januari 1926 M. Disitu beliau
menjabat sebagai Syeihul Akbar.
Nahdhatul
Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan melihat berbagai fenomena yang terjadi
dimasyarakat, terutama dengan tertinggalnya masyarakat di bidang pendidikan.
Oleh karena itu lembaga pendidikan, terutama pesantren diutamakan.
Pesantren
yang dikembangkan NU tidak hanya menyelenggarakan pendidikan model lama, tetapi
juga diselengarakan sekolah-sekolah agama, seperti Madrasah Ibtidaiyah,
madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, bahkan sekolah-sekolah umum. Di bidang
pendidikan NU membentuk satu badan khusus yaitu Ma’arif, yang bertugas untuk
membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan yang
berada di bawah naugan NU.[14]
Demikianlah peran KH. Hasyim Asy’ari
dibidang pendidikan.
c) Syekh Ahmad
Surkati (1872-1943)
Syekh
Sukarti lahir di Dunggala, suatu daerah di Sudan pada tahun 1872. Beliau
didatangkan ke Indonesia oleh Jami’at Khair. Pada tahun 1911 Ahmad Sukarti
sampai di Jakarta dan langsung mengajar di lembaga pendidikan Jami’at Khair.[15]
Lebih kurang
dua tahun mengajar di Jami’at Khair, kemudian beliau mendirikan organisasi
sendiri pada tanggal 17 Juli 1914 M di Jakarta dengan nama al-Islah wal
Irsyad, yang kemudian dikenal dengan al-Irsyad.
Tujuan
perkumpulan al-Irsyad yaitu untuk memajukan pelajaran agama Islam yang murni di
kalangan bangsa Arab di Indonesia. Dalam bidang pendidikan al-Irsyad mendirikan
madrasah-madrasah seperti; Awaliyah,
lama pelajaran 3 tahun, Ibtidaiyah, lama
pelajaran 4 tahun, Tajhiziyah, lama pelajaran 2 tahun, Mu’alimin, lama belajar 4
tahun, dan Takhassus, lama belajar 2
tahun.[16]
Demikianlah peran Ahmad Sukarti dalam perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia. Peranya sangat berpengaruh dalam pembaharuan pendidikan dan
pemikiran di Indonesia.
d) KH. Abdul
Halim (1887-1962)
KH. Abdul
Halim lahir di Ciberelang, Majalengka pada tahun 1887 M. Beliau merupakan
seorang pelopor gerakan pembaharuan di Majalengka Jawa Barat. Kemudian
berkembang menjadi Persyerikatan Ulama yang dimulai pada tahun 1911.[17]
Adapun yang
mendorong Abdul Halim untuk melakukan perubahan sistem pendidikan tradisional
yang ada di daerah asalnya yaitu karena pengaruh pengalaman beliau ketika
berada di Mekkah. Disana beliau cukup terkesan dengan penyelenggara dua lembaga
pendidikan, yaitu Bab al-Salam yang bertepat dekat Mekkah, dan yang satunya
lagi di Jeddah. Lembaga pendidikan tersebut sudah cukup maju dengan
meninggalkan sistem lama yang memakai halaqah.[18]
Sepulang
dari Mekkah beliau mendirikan organisasi yang bernama Hayatul Qulub pada
tahun 1911 yang bergerak di bidang ekonomi dan pendidikan. Dibidang pendidikan
Abdul Halim mulanya menyelengarakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang
dewasa. Umumnya materi yang diberikan adalah pelajaran-pelajaran fiqh dan
hadits.
Untuk
mengupayakan kualitas lembaga pendidikannya, Abdul Halim menjalin hubungan
dengan Jami’at Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Beliau mewajibkan muridnya pada
tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab, yang kemudian menjadi
bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.[19]
D.
Institusi
Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Secara garis
besar institusi pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang di
kelompokkan menjadi dua, yaitu institusi yang bersifat formal seperti madrasah
dan Istitusi Agama Islam Negeri, ada juga yang bersifat nonformal seperti
surau/langgar dan pesantren.
a) Pesantren
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam paling awal dan tertua di Indonesia. Ia
merupakan basis penyebaran sistem pendidikan madrasah di Indonesia. Sebagai
sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren mengajarkan santrinya untuk
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan cara menanamkan moral
agama Islam sebagai pedoman hidup dalam bermasyarakat.
Pesantren
berasal dari santri, yang berarti “terpelajar” (learned) atau “ulama” (sholar).
Jika santri menunjuk kepada murid, maka pesantren menuju kepada lembaga
pendidikan. Jadi, pesantren adalah tempat belajar bagi para santri.[20]
Pesantren memiliki sebutan lain seperti ‘surau’ di Sumatera Barat, “meunasah”
atau “dayah” di Aceh. Sebutan tersebut tergantung latar belakang sejarah lokal
masing-masing daerah.
Dari semua
istilah tersebut pesantren merupakan istilah yang paling dikenal dan bertahan
dibandingkan dengan surau, dayah, meunasah. Ketiga istilah tersebut masih juga
dipakai oleh masyarakat setempat, tetapi perkembangannya tidak begitu pesat
sehingga penggunaanya semakin berkurang.
Mengenai
kapan pesantren mulai muncul, tidak ada kesepakatan di kalangan sarjana, akan
tetapi pesantren diperkirakan mengalami perkembangan yang cukup signifikan pada
abad ke-19. Hal ini didukung oleh
inspeksi yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 1873 tentang pendidikan untuk
pribumi. Disitu disebutkan bahwa jumlah pesantren cukup banyak, berkisar pada
angka 20.000 sampai dengan 25.000 pesantren dengan jumlah santri sekitar
300.000 santri.[21]
Pesantren
memiliki ciri khas yang membedakan dengan lembaga pendidikan Islam yang lain.
Menurut Hasbullah dalam bukunya Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia
ada lima ciri khas pesantren, yaitu:[22]
a. Pondok
Disini kiai
bersama santrinya bertempat tinggal. Pondok sebagai tempat tinggal bersama
dimanfaatkan untuk bekerja sama dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren lebih menonjolkan
fungsinya sebagai asrama dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran
untuk pemeliharaan pondok tersebut.
b. Mesjid
Masjid di
saamping berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi segai tempat ibadah.
Biasanya waktu belajar berkaitan dengan waktu shalat berjamaah, baik sebelum
maupun sesudahnya. Dalam perkembangannya jumlah saantri dan tingkatan pelajaran
meningkat, maka dibangun ruangan-ruangan khusus untuk halaqah.
c. Santri
Santri
meurpakan unsur pokok dari pesantren. Biasanya santri terdiri dari dua kelompok
yaitu santri mukim dan santri kalong. Santri mukim yaitu santri yang berasal
dari daerah jauh dan menetap di pesantren, sedangkan santri kalong yaitu santri
yang berasal dari daerah sekitar dan biasanya mereka tidak menetap dalam
pesantren.
d. Kiai
Kiai merupakan
hal mutlak bagi sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang
memberikan pengajaran. Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan suatu
pesantren tergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik serta wibawa
kiai tersebut.
e. Kitab-kitab
Islam Klasik
Unsur pokok
lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lain yaitu bahwasanya
di pesantren diajarkan kitab-kitab Islam klasik atau sekarang dikenal dengan
kitab kuning, yang dikarang oleh ulama terdahulu mengenai berbagai macam ilmu
pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab.
b) Madrasah
Madrasah
merupakan isim makan kata darasa dalam bahasa Arab, yang berarti
tempat duduk untuk belajar yang sekarang lebih popular dengan sebutan sekolah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam mulai tumbuh di Indonesia pada awal
abad ke-20.[23]
Kelahiran madrasah tidak terlepas dari ketidakpuasan teerhadap sistem pesantren
yang hanya menitik beratkan agama, disisi lain sistem pendidikan umum saat itu
tidak mempedulikan agama.
Ini
diperhatikan dari fungsi madrasah sebagai penghubung antara sistem lama dengan
sistem baru dengan cara mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan
mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi, dan ekonomi yang bermanfaat
bagi kehidupan umat Islam. Dengan demikian, isi kurikulum madrasah pada umumnya
adalah apa yang diajarkan dilembaga pesantren ditambah dengan beberapa materi
pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.[24]
Dalam
bukunya Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia Mahmud Yunus menyatakan bahwa lembaga pendidikan Islam yang
mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis adalah Madrasah
Adabiyah (Adabiyah School) di Padang.
Ini merupakan madrasah pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia yang
didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Pada mulanya madrasah
Adabiyah ini bercorak agama semata-mata, kemudian pada tahun 1915 berubah
menjadi HIS (Holand Inland School)
Adabiyah. HIS Adabiyah merupakan madrasah pertama yang memasukkan pelajaran
umum kedalamnya.[25]
Selain
Madrasah Adabiyah ada juga madrasah Diniyah (Diniyah School) yang didirikan oleh Zainuddin Labai El Yunusiy di
Padang Panjang pada tahun 1915. Kemudian lahir madrasah Muhammadiyah pada tahun
1918. Di Ladang Lawas didirikan Arabiyah School oleh Syekh Abbas pada tahun
1918. Pada tahun 1921 lahir Sumatera Thawalib yang dipelopori oleh Abdul Karim
Amrullah. Kemudian KH. Hasyim Asy’ari madrasah salafiah di Tebuireng Jombang
Jawa Timur pada tahun 1916. Madrasah-madrasah tersebut merupakan pionir dalam
melahirkan madrasah-madrasah di berbagai daerah Nusantara.[26]
c) Institut
Agama Islam Negeri
Kelahiran
Institut Agama Islam Negeri tidak terlepas dari usaha gigih umat Islam dalam
mengembangkan sistem pendidikan Islam yang lengkap, mulai dari pesantren sampai
ke tingkat perguruan tinggi. Menurut Mahmud Yunus, Institut Agama Islam Negeri pertama
kali didirikan pada tahun 1940 di Padang, di bawah pimpinannya sendiri.[27]
Lembaga pendidikan ini terdiri dari dua fakultas, yaitu syariat atau agama dan
pendidikan serta bahasa Arab.
Kemudian
didirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta, dengan bantuan pemerintahan
pendudukan Jepang pada tanggal 8 Juli 1945. Belajar di STI berlangsung selama
dua tahun sampai mencapai sarjana muda, kemudian ditambah dua tahun lagi untuk
mendapat gelar semacam sarjana, serta setelah menulis tesis maka berhak
mendapat gelar Doktor.[28]
E.
Materi Pendidikan
Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Adapun
materi pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang tidak terlepas
dari lembaga penyelengara pendidikan itu sendiri. Pesantren misalnya, materi
pelajaran ditetapkan oleh kiai dengan menunjukkan kitab-kitab apa yang harus
dipelajari. Penggunaan kitab dari jenis kitab yang rendah dalam satu disiplin
ilmu keislaman sampai pada tingkat yang tinggi. Ukuran kealiman seorang santri
bukan dari banyak kitab yang dipelajari, tetapi diukur dengan praktik mengajar
sebagai guru mengaji, dapat memahami kitab-kitab yang sulit dan mengajarkan
kepada santri-santri yang lain.[29]
Menurut
Mahmud Yunus, materi pendidikan Islam pada pondok Pesantren meliputi: pengajian
al-Qur’an, pengajian kitab yang meliputi beberapa tingkat, diantaranya mengaji
nahwu, sharaf dan fiqh dengan memakai kitab Ajrumiyah, matan Bina, Fathul Qarib
dan sebagainya. Selanjutnya mengaji tauhid, nahwu, sharaf, dan fiqh dengan
memakai kitab-kitab Sanusi, Syaikh Khalid (Azhari, ‘Asymawi), Kailani, Fathul
Mu’in dan sebagainya. Kemudian
dilanjutkan dengan mengaji tauhid, nahwu, sharaf, fiqh, tafsir dan
lain-lain dengan memakai kitab-kitb Kifatul ‘Awam (Ummul-Barahin), Ibnu ‘Aqil,
Mahalli, Jalalain/Baidlawi dan sebagainya.[30]
Pada
umumnya, materi pendidikan Islam tingkat permulaan meliputi: pertama, belajar membaca al-Qur’an dan
belum dirasakan perlu memahami isinya, kedua,
pelajaran dan praktik shalat, ketiga,
pelajaran ketuhanan dan ketauhidan yang pada garis besarnya bersifat pada
sifat dua puluh. Bagi mereka yang ingin memperdalam agamanya diberikan
pelajaran bahasa Arab, Ushul dan Fiqh yang pada dasarnya ditulis dalam bahasa
Arab. Fiqh ini mengenai tharah, shalat, zakat, puasa dan ibadah haji. Pada
tingkat yang lebih tinggi dipelajari pula peraturan-peraturan mengenai nikah,
talaq, rujuk serta faraidl.[31]
Adapun
materi pendidikan Islam di madrasah, selain diajarkan ilmu agama juga diajarkan
ilmu umum. Pengetahuan umum yang diajarkan pada masa-masa awal yaitu: membaca
dan menulis (huruf latin) bahasa Indonesia, berhitung, ilmu bumi, sejarah
Indonesia dan Dunia serta olahraga dan kesehatan.[32]
Selanjutnya materi pendidikan di madrasah berubah seiring dengan kemajuan
zaman.
F.
Metode Pendidikan
Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Metode
pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga di tentukan oleh
lembaga yang menyelengarakan pendidikan itu sendiri. Pesantren misalnya, metode
yang sering digunakan di pesantren
yaitu:
1. Metode Wetonan, yaitu suatu metode dimana para santri
mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran.
Santri menyimak kitab masing-masing, dan mencatat apabila perlu. Pelajaran
diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan
shalat fardhu. Di Jawa Barat metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera disebut dengan halaqah.
2. Metode Sorongan, yaitu suatu metode dimana santri menghadap
kiai seoarang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya.
3. Metode Hafalan, yaitu suatu metode dimana santri menghafal
teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.[33]
Adapun
metode yang digunakan di madrasah yaitu metode yang bersifat klasikal yaitu
metode dengan cara-cara barat seperti susunan pelajaranya tidak hanya terdiri
dari ilmu agama tetapi juga terdiri dari ilmu umum.
G.
Tujuan
Pendidikan Islam pada Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Mengenai
tujuan pendidikan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga tidak terlepas dari lembaga penyelengara
pendidikan itu sendiri. Pesantren misalnya, tujuan utamanya yaitu menyiapkan
calon lulusan yang hanya menguasai masalah agama semata. Sehingga hakikat
tujuan pesantren yaitu terwujudnya penguasaan ilmu agama Islam sebagaimana
tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab produk ulama terdahulu serta
tertanamnya perasaan agama yang mendalam dan mengamalkanya dalam kehidupan
sehari-hari.[34]
Adapun
tujuan pendidikan Islam di madrasah bisa dilihat dari materi-materi yang di
ajarkan dilembaga pendidikan tersebut, Muhammadiyah misalnya, tujuan dari
pendidikan Islam mencakup tiga aspek, yaitu membentuk manusia yang berkarakter,
berakhlak dan bermoral yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh dan berkesinambungan antara perkembangan mental
dan jasmani, antara kenyakinan dan intelek, antara perasaan dengan akal pikiran
serta antara dunia dan akhirat. Terakhir menumbuhkan sikap dan kesediaan serta
keinginan hidup bermasyarakat.[35]
H.
Kesimpulan
Sebelum
Belanda datang, Indonesia sudah memiliki sistem pendidikan formal yaitu
pesantren. Awal mula berkuasa, Belanda membiarkan pesantren berjalan apa
adanya. Seiring berjalannya waktu dibuatlah kebijakan-kebijakan yang menghambat
perkembangan pendidikan Islam, khususnya Pesantren.
Sepanjang
sejarah penjajahan Belanda lahir beberapa tokoh yang sangat berperan dalam
mengembangkan pendidikan Islam. Diantara tokoh-tokoh tersebut yaitu KH. Ahmad
Dahlan dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah, kemudian melahirkan
sekolah-sekolah dengan coraknya tersendiri. Kemudian ada KH. Hasyim Asy’ari,
yang mempelopori lahirnya organisasi NU. Organisasi ini sangat berperan dalam
menjaga dan membantu pertumbuhan pesantren. Selanjutnya ada Syekh Ahmad Surkati
dengan organisasi al-Irsyadnya dan KH. Abdul Halim dengan organisaninya Hayatul
Qulub.
Adapun
lembaga pendidikan yang cukup berperan dimasa penjajahan Belanda dan Jepang
yaitu Pesantren, Madrasah dan Institut Agama Islam Negeri. Materi pendidikan
Islam yang diajarkan pada masa tersebut tergantung dari lembaga penyelengaran
pendidikan itu sendiri. Pesantren misalnya, materi ajarnya di tentukan oleh
para kiai yang berorientasi agama saja. Sedangkan di madrasah materi ajarkan
tidak hanya agama saja tetapi juga meliputi ilmu umum.
Metode yang
digunakan dalam pendidikan Islam masa penjajahan Belanda dan Jepang juga
bervariasi. Di pesantren digunakan Metode
Wetona, sorongan dan hafalan.
Sedangkan di Madrasah digunakan metode klasikal sebagaimana metode yang dibawa
oleh barat.
Tujuan
pendidikan masa itu juga tergantung pada lembaga yang menyelengarakan
pendidikan. Seperti tujuan pendidikan Islam di pesantren yang menyiapkan calon
lulusan yang hanya menguasai masalah agama semata. Sedangkan tujuan pendidikan
di madrasah yaitu selain menguasai ilmu agama juga menguasai ilmu umum.
I.
Daftar
Pustaka
A. Junairi, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa
pada Awal Abad ke-20, Surabaya: Bina Ilmu, 1981.
A. Timur Djaelani, Peningkatan
Mutu Pendidikan dan Pembagunan Perguruan Agama, Jakarta: Dermaga, 1982.
Abdul Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa
“Visi, Misi dan Aksi,” (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004..
Abudin Nata (ed), Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
PT Grasindo, 2001.
Ahmad Syafi’i Ma’rif, Islam
dan Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985.
Amir Hamzah Wirjosukrto, Pembaharuan
Pendidikan dan Pengajaran Islam, cet. iv, Jember: Muria Offset, 1985.
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad Ke-20 “Pergumulan
antara Modernisasi dan Identitas,” Jakarta: Kencana, 2012.
Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.
Djumhur-Danasaputra, Sejarah
Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 1979.
Harun Nasution, Ensiklopedia
Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.
Jalaluddin, Kapita Selekta
Pendidikan, Jakarta: Kalam Mulia, 1990.
Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985.
Maksum, Madrasah, Sejarah
dan Perkembangannya, Jakarta: Logos, 1999.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,
cet.ii, Jakarta: PSAPM, 2004.
Muwardi Sutedjo, dkk, Kapita
Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Ditjen Binbaga Islam dan UT, 1992.
Samsul Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam “Menelusuri Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia.” Jakarta: Kencana, 2008.
[1]Zulhairi,
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, cet. xiii, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013),
hal.148.
[2]Abdul
Rachman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa “Visi, Misi dan Aksi,”
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 14-15.
[3]Zulhairi,
dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 148.
[4]Zulhairi,
dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 148.
[5]Samsul
Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam “Menelusuri Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia.” (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 307-308.
[6]Zulhairi,
dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 151.
[7]Zulhairi,
dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 152.
[8]A.
Junairi, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa
pada Awal Abad ke-20, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hal. 24.
[9]Jalaluddin,
Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1990), hal. 66.
[10]Hasbullah,
Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 116-117.
[11]Ahmad
Syafi’i Ma’rif, Islam dan Kenegaraan,
(Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 66.
[12]I.
Djumhur-Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung:
CV Ilmu, 1979), hal. 164.
[13]Hasbullah,
Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal.
122-123.
[14]Hasbullah,
Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal.
127.
[15]Harun
Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), hal. 90-91.
[16]Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), hal. 307.
[17]Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 80.
[18]Hasbullah,
Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal.
136.
[19]Hasbullah,
Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal.
138.
[20]Arief
Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Abad Ke-20 “Pergumulan antara Modernisasi
dan Identitas,” (Jakarta: Kencana, 2012), hal.75-76.
[21]Karel
Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 161.
[22]Hasbullah,
Kapita Selekta Pendidikan…, hal.
47-49.
[23]A.
Timur Djaelani, Peningkatan Mutu
Pendidikan dan Pembagunan Perguruan Agama, (Jakarta: Dermaga, 1982), hal.
19.
[24]Maksum,
Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta:
Logos, 1999), hal. 82.
[25]Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), hal, 63.
[26]Samsul
Nizar (ed), Sejarah Pendidikan Islam…, hal. 292-293.
[27]Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan…, hal.103.
[28]Hasbullah,
Kapita Selekta Pendidikan Islam…, hal.
103-104.
[29]Amir
Hamzah Wirjosukrto, Pembaharuan
Pendidikan dan Pengajaran Islam, cet. iv, (Jember: Muria Offset, 1985),
hal. 27-28.
[30]Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan…,
hal.54-55.
[31]Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam…, hal.
14-16.
[32]Muwardi
Sutedjo, dkk, Kapita Selekta Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam dan UT, 1992), hal 42.
[33]Abudin
Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
Grasindo, 2001), hal. 105-106.
[34]Muhaimin, Wacana
Pengembangan Pendidikan Islam, cet.ii, (Jakarta: PSAPM, 2004), hal.73.
[35]
Muhaimin, Wacana Pengembangan…, hal. 79.